Tuesday, February 4, 2020

PANGERAN ANTASARI


PANGERAN ANTASARI
(Panembahan Amirud-dien Chalifatul Mukminin)

Beliau adalah Sultan Banjar (dimasa Pemerintahan Darurat) Pada 14 Maret 1862, Baginda dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan dan pemuka Agama tertinggi di Kesultanan Banjar dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Chalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas , Kapuas dan Kahayan yaitu Temenggong Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Gusti Inu Kartapati atau
Pangeran Antasari merupakan cucu kepada Pangeran Ameer (Amir) .
Semasa muda nama Pangeran Antasari adalah Gusti Inu Kartapati .
Ibunda Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman .
Ayah Pangeran Antasari adalah
Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Ameer . Pangeran Ameer adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata Dilaga, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II  Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri.  Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang lebih dikenal dengan nama Ratu Sultan Abdul Rahman karena menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman Ibni Al-Marhum Sultan Adam Al-Watsyiqu Billah tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.

Pewaris Takhta Kerajaan Banjar
Baginda adalah  cucu kepada Pangeran Ameer yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku Dayak Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.
Setelah Sultan Hidayatullah II  ditipu Belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.[17] Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah di wilayah Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862 , bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:

“ Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”
Seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi " Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Monday, February 3, 2020

FAKTOR KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM


FAKTOR KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.

Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut adalah sbb:

Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.

Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.” Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.

Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.

Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.

Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:

Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.

Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.

Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:

…..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang, …. jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.

Lebih lanjut ia menyatakan:

Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.

Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4) orientasi kemewahan masyarakat 5) Egoisme 6) Opportunisme 7) Penarikan pajak secara berlebihan 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat 9) Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan 10) Penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.

Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.

Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.

WALIYULLOH KARAWANG SYEKH QURO


"WALIYULLOH KARAWANG"

Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain atau Syeh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama. Dia adalah putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Jika di tarik dan di lihat dari silsilah keturunan, Syech Hasanudin atau Syekh Quro masih ada garis keturunan dari Sayidina Husein Bin Saiyidina Ali r.a. menantu dari Nabi Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana ( Ibunya Syech Hasanudin atau Syekh Quro ). Selain itu Syech Hasanudin atau Syekh Quro juga masih suadara seketurunan dengan Syech Nurjati Cirebon dari generasi ke – 4 Amir Abdullah Khanudin.

Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Syech Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syech Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syech Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.

Maksud dan tujuan kedatangan Syech Hasanudin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syech Hasanudin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syech Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syech Hasanudin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syech Hasanudin ini oleh Prabu Angga Larang di tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syech Hasanudin dan mengusir Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah dari Tanah Cirebon.

Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “ Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam.

Ketika itu juga Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah ke Malaka.

Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.

Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.

Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang Saketi Jejer Seratus”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.

Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung Karawang sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.

Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3 orang putra yang bernama :

1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi ).

2. Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi ).

3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang ( Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi ).

Ketika anak – anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa telah menginjak usia dewasa dan telah mendapat bimbingan dari Waliyullah Syech Quro, maka ketiga anak – anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa itu ditugaskan oleh Syech Quro untuk lebih memperdalam lagi ajaran Agama Islam ke Pelabuhan Cirebon untuk berguru kepada Syech Nurjati Cirebon.

Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syech Nurjati Cirebon, maka ketiga anak – anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa diberitugas oleh Syech Nurjati Cirebon, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan Raden Walasungsang yang bernama Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan Kabupaten Garut, sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk mendapatkan bimbingan.

Ketika setelah mendapatkan bimbingan dari Syech Ibrahim, maka Raden Walasungsang dan Nyi Mas Rara Santang ditugaskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syech Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.  Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, maka kakanya Nyi Mas Rara Santang yang bernama Raden Walasungsang dipersunting oleh Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang ketika di Mekah dipersu nting oleh Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang ketika di Mekah dipersunting oleh raja Mesir yang bernama Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah.

Kemudian setelah berhaji, Raden Walasungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu pulang ke negeri Caruban atau Cirebon, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang di bawa oleh suaminya ke negeri Mesir.

Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah namanya diganti menjadi Syarifah Muda’im. Hasil dari pernikahan antara Nyi Mas Rara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, dikaruniai 2 orang anak yakni :

1.  Syarif Hidayatullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1372 Saka atau tahun 1450 Masehi ).

2.  Syarif Nurullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1375 Saka atau tahun 1453 Masehi ).

Waktu terus berganti, setelah Syarif Abdullah ayahnya Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah meninggal dunia, maka jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan Syarif Hidayatullah dan ibundanya yang bernama Nyi Mas Rara Santang meneruskan menimba ilmu agama Islam dari ulama Mekah dan Bagdad. Setelah cukup menimba ilmu Agama Islam, tepatnya pada tahun 1397 Saka atau tahun 1475 Masehi Syarif Hidayatullah bersama ibundanya pulang ke Negeri Caruban atau Cirebon bermaksud untuk menyebarkan Agama Islam dan bertemu kepada Eyang dan Uwaknya Syarif Hidayatullah yakni kepada Ki Gedeng Tapa ( Eyang Syarif Hidayatullah ) dan Raden Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Uwak Syarif Hidayatullah ).

Sesampainya di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, mereka disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa yang merupakan Eyangnya Syarif Hidayatullah dan Raden Walasungsang yang merupakan Uwaknya Syarif Hidayatullah, pada waktu itu Raden Walasungsang menjadi Penguasa Cirebon yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di Cirebon Syarif Hidayatullah mendapatkan bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng Tapa dan Raden Walasungsang untuk menjadi Santri Baru guna menimba lebih dalam lagi ilmu dan memperdalam Agama Islam ke Paguron Gunung Jati di Pasambangan Jati yang dipimpin oleh Syech Nurjati Cirebon.

Waktu terus bergulir setelah memperdalam Agama Islam di Paguron Gunung Jati Syech Nurjati Cirebon, Syarif Hidayatullah menerima wejangan – wejangan yang berharga dari Syekh Nurjati yakni : ”Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya itu.

Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha.

Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk dari dia untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk dia, karena pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syech Quro di Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit. Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada dia terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda.

Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni syare’at, hakikat, tarekat, dan ma’rifat, serta wujudkanlah atau bentuklah masyarakat yang Islamiyah”.

Waktu terus berganti, ketika Syech Nurjati meninggal dunia maka pemimpin Paguron Gunung Jati dip impin oleh anak bungsunya Syech Nurjati Cirebon yang bernama Syekh Datuk Khafid.

Hari berganti hari tahun berganti tahun, usia Syekh Datuk Khafid sudah sangat uzur, maka kedudukan atau pimpinan Paguron Gunung Jati digantikan atau di pimpin oleh Syarif Hidayatullah. Ketika menggantikan kedudukan pimpinan Paguron Gunung Jati sebagai guru dan da’i di Amparan Jati Syarif Hidayatullah diberi julukan Syekh Maulana Jati atau disingkat Syekh Jati.

Paguron Gunung Jati yang di pimpin oleh Syarif Hidayatullah ternyata berkembang pesat, banyak santri – santri di luar Cirebon untuk bersantri atau berguru di Paguron Gunung Jati. Perkembangan ini terus berlanjut tatkala Syarif Hidayatullah menggantikan uwaknya yakni Raden Walasungsang yang usianya sudah sangat uzur untuk memimpin Kerajaan Cirebon.

Ketika memimpin Kerajaan Cirebon Syarif Hidayatullah diberi gelar Susuhunan atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah setelah memimpin Kerajaan atau Kesultanan Cirebon, ia menikah dengan Nyai Kawunganten adik dari Bupati Banten. Dari pernikahan antara Syarif Hidayatullah dengan Nyai Kawunganten, dikaruniai 2 orang putra, yaitu :

1. Ratu Wulung Ayu.

2. Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Pada tahun tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi atau semasa dengan Wali Songo Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, membangun sebuah Masjid yang bernama Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun atas kerja sama antara Sunan Gunung Jati dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini diambil dari kata " Sang " yang bermakna keagungan, " Cipta " yang berarti dibangun, dan " Rasa " yang berarti digunakan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan. Masjid ini terdiri dari dua ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama, terdapat sembilan pintu, yang melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak, Majapahit, dan Cirebon.

Sunday, February 2, 2020

SYEKH SUNAN ROHMAT SUCI GODOG (RADEN KIAN SANTANG)


SYEKH SUNAN ROHMAT SUCI GODOG ( RADEN KIAN SANTANG )

Prabu Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian dia membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok daerah, dibantu oleh saudagar arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya.

Sekarang lokasi istana itu disebut
Kebun Raya Bogor. Pada tahun 1372 Masehi Prabu Kiansantang
menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuwan dan dia sendiri yang mengkhitanan orang yang masuk agama Islam.

Tahun 1400 Masehi, Prabu Kiansantang diangkat menjadi
Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu
Anapakem I. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi.

Dalam uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'ripatan.

Kepada beliau dimintakan untuk
memilih tempat tafakur dari ke 3
tempat yaitu Gunung Ceremai,
Gunung Tasikmalaya, atau Gunung
Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat.

Sebelum uzlah Prabu Kiansantang
menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran.

Yang dituju pertama kali adalah
gunung Ceremai. Tiba disana lalu peti disimpan diatas tanah, namun peti itu tidak godeg alias berubah.

Prabu Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah.

Akhirnya Prabu Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut peti itu disimpan diatas tanah secara tiba-tiba berubah/ godeg.

Dengan godegnya peti tersebut, itu
berarti petunjuk kepada Prabu
Kiansantang bahwa ditempat itulah, beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Tempat itu kini diberi nama Makam Godog. Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km.

Prabu Kiansantang namanya
diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat.

Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat ditempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.

Sumber : FP Raden Ki An San Tang (Gagak Lumayung).