Saturday, August 1, 2020

SEJARAH BERDIRINYA NAHDATUL ULAMA


SELAYANG PANDANG SEJARAH LAHIRNYA NAHDATUL ULAMA

Nahdlatul Ulama disingkat NU, merupakan suatu Jam’iyah Diniyah 
Islamiyah yang berarti Organisasi Keagamaan Islam. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H. Organisasi 
ini merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di dunia. Untuk mengetahui lebih dalam tentang NU secara lebih utuh, berikut ini adalah sejarah lahirnya NU.
A. SITUASI MENJELANG LAHIRNYA NU
Berakhirnya perang dunia pertama berdampak besar terhadap dunia islam. Para cendikiawan muslim di negara Islam mencoba 
menawarkan gagasan baru dalam rangka pembaharuan dalam Islam. Tokoh-tokoh yang gencar menyuarakan pembaharuan dalam Islam adalah Ibnu Sa`ud di Mekah, Syaikh Muhammad Abduh di Mesir, Jamaluddin al Afgani di Afganistan, Musthafa Kamal Pasha di Turki.Di Indonesia sendiri gerakan pembaharu muncul dengan didirikannya Syarikat Islam oleh H.O.S. Tjakroaminoto, lalu Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Al Irsyad oleh Syaikh Ahmad Sarkati.Para pembaharu tersebut, menyuarakan kepada umat Islam 
di seluruh dunia agar kembali kepada al Qur`an dan Hadits. Ajaran Islam yang tidak berdasarkan al Qur`an dan Hadits adalah bid`ah dan khurafat seperti bermadzhab, ziarah kubur/haul dan kuburan harus 
dihilangkan dari muka bumi.
Disisi lain, pada tahun 1916 KH. Abdul Wahab Hasbullah sepulang 
dari Mekah untuk belajar berhasil mendirikan Madrasah di Surabaya 
yang bernama “Nahdlatul Wathan” (Kebangkitan Tanah Air). Selanjutnya 
madrasah ini disebut “Jam`iyah Nashihin” dikarenakan madrasah ini juga merupakan tempat melatih para remaja calon pemimpin dan mubalig.Kemudian pada tahun 1918 didirikannlah sebuah koperasi 
pedagang yang bernama Nahdlatul Tujjar. Tidak lama kemudian saat menjelang tahun 1919, di Surabaya didirikan madrasah baru 
yang bernama Taswirul Afkar. Tujuan utama didirikan madrasah ini adalah untuk menyediakan tempat untuk mengaji dan belajar. Kelak madrasah ini menjadi sayap untuk kepentingan membela kelompok 
Islam tradisional.
Cikal Bakal lahirnya Nahdlatul Ulama diawali dengan dibentuknya 
organisasi pergerakan seperti “Nahdlatul Wathan” (Kebangkitan Tanah 
Air), ”Taswirul Afkar” atau sering dikenal dengan (Nahdlatul Fikr) serta 
didirkannya “Nahdlatul Tujjar”
Pada tahun 1924 M. pimpinan Wahabi, Ibnu Sa`ud hendak menerapkan asas tunggal yakni madzhab Wahabi di Mekah. Segera 
setelah itu Raja Ibnu Sa’ud mulai melakukan pembersihan praktek praktek beragama yang tidak sesuai dengan faham mereka serta 
mengundang kepada umat Islam di seluruh dunia untuk menghadiri Kongres umat Islam di Mekah.Menanggapi undangan tersebut umat Islam Indonesia segera menggelar Kongres al-Islam keempat di Yogyakarta, pada tanggal 21-
27 Agustus 1925 untuk membahas sikap dari umat Islam Indonesia terhadap rencana Raja Ibnu Sa’ud. Dalam kongres tersebut kalangan 
Islam tradisional menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan perdaban Islam. Dengan sikap yang berbeda itu kalangan pesantren (Islam Tradisional) tidak diikut sertakan dalam delegasi Kongres Islam Internasional di Mekah. 
B. DETIK-DETIK KELAHIRAN NU
Didorong oleh semangat yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban Islam maka dengan prakarsa K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. 
Muhammad Hasyim Asy`ari para ulama berkumpul di rumah K.H. Abdul Wahab Hasbullah kampung Kertopaten, Surabaya. Adapun para alim ulama yang hadir dalam pertemuan ini adalah:
1.K.H. Muhammad Hasyim Asy`ari Jombang
2.K.H. Abdul Wahab Hashbullah Jombang
3.K.H. Bisri Syamsuri Denanyar Jombang
4.K.H. Raden Haji Asnawi Kudus
5.K.H. Ma`sum Lasem
6.K.H. Ridwan Semarang
7.K.H. Nawawi Pasuruan
8.K.H. Nahrowi Malang
9.K.H. Ridwan Surabaya
10.K.H. Alwi Abdul Aziz Malang
11.K. Abdullah Ubaid Surabaya
12.K.H. Abdul Halim Leuwimunding, Cirebon
13.K.H. Doro Munthaha Bangkalan, Madura
14.K.H. Dahlan `Abdulqahar Kertosono
15.K.H. Abdullah Faqih Gresik

Dalam pertemuan tersebut ada tiga hal penting diputuskan, yaitu:
1.Meresmikan berdirinya ”Komite Hijaz”. Yang selanjutnya mengutus K.H.R. Asnawi Kudus untuk menghadap Raja Ibnu Sa`ud di Mekah, 
2.Membentuk suatu Jam`iyah untuk wadah persatuan para ulama dalam tugas memimpin umat Islam menuju tercapainya cita-cita ”Izzul Islam wal Muslim”, kejayaan Islam dan kaum muslimin bernama Jam`iyah Nahdlatul Ulama. Nama Nahdlatul Ulama merupakan usulan dari K.H. M. Alwi Abdul Aziz 
3.Membatasi masa kerja Komite Hijaz,yaitu sepulangnya delegasi dari Mekah, maka komite Hijaz bubar.Dalam rapat tersebut juga menyusun pengurus jam`iyah Nahdlatul Ulama yang pertama dan terdiri dari dua bagian yaitu bagian Syuriyah dan bagian Tanfidiyah.
      *Pengurus Syuriyah adalah:*
*Rais Akbar : K.H. Muhammad Hasyim Asy`ari, Tebuireng Jombang*
*Wk. Rois Akbar : K.H. Dahlan, Kebondalem, Surabaya*
*Katib Awal : K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Surabaya*
*Katib Tsani : K.H. Abdul Halim, Leuwimunding, Cirebon*
*A`wan : K.H. M. Alwi Abdul Aziz, Surabaya*
 *K.H. Ridwan, Surabaya*
 *K.H. Sa`id, Surabaya*
 *K.H. Bisyri Sansoeri, Denanyar Jombang*
 *K.H. Abdullah Ubaid, Surabaya*
 *K.H. Nachrowi, Malang*
 *K.H. Amin, Surabaya*
 *K.H. Masyhuri, Lasem*
 *K.H. Nachrowi, Surabaya*
Musytasyar : K.H. R. Asnawi, Kudus
 *K.H. Ridwan, Semarang*
 *K.H. Ms. Nawawi, Sidogiri, Pasuruhan.*
 *K.H. Ndoro Muntaha, Bangkalan Madura*
 *Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Mishry, Mesir*
 *K.H.R. Hambali, Kudus*

*Sedang Pengurus Tasnfidziyahnya adalah sebagai berikut:*
*Ketua : H. Hasan Gipo, Surabaya*
*Penulis : M. Sidiq Sugeng* *Yudodiwiryo, Pemalang*
*Bendahara : H. Burhan, Surabaya*
*Pembantu : H. Saleh Syamil, Surabaya*
*: H. Ichsan, Surabaya*
*: H. Ja`far Alwan, Surabaya*
*: H. Utsman, Surabaya*
*: H. Achzab, Surabaya*
* H. Nawawi, Surabaya*
* H. Dahlan, Surabaya
* H. Mangun, Surabaya*

Setelah berakhirnya pertemuan ulama di Surabaya dan mendirikan Komite Hijaz. Maka lewat Komite Hijaz ini diutuslah KH.R. Asnawi untuk menghadap Raja Ibnu Sa’ud guna membicarakan perubahan perubahan peribadatan yang akan dilaksanakan di Mekah. Komite Hijaz adalah nama sebuah kepanitiaan kecil yang diketuai oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Panitia ini bertugas menemui raja Ibnu Sa’ud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan.
Akan tetapi pada pelaksanaanya, dikarenakan beberapa faktor maka K.H.R. Asnawi digantikan oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan Shaikh Ahmad Ghanaim Al-Mishry untuk berangkat ke Mekah.Dari dua orang utusan yang berangkat ke Mekah itu membawa 
hasil yang memuaskan, yaitu:
1) Penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia sekarang) akan bersikap adil serta melindungi adanya ajaran Empat Madzhab.
2) Ajaran Ahlussunah wal Jama`ah atau yang berhaluan Empat Madzhab yang biasa berlaku dalam Masjidil Haram tetap dihormati dan tidak dilarang.
3) Tidak ada larangan dan dijamin keamanannya orang-orang yang berziarah ke makam-makam di wilayah Hijaz Nejed, 
terutama makam-makam yang bersejarah, seperti makam nabi dan para sahabat.

Friday, July 24, 2020

PATAKA KERAJAAN MAJAPAHIT


1.      PATAKA SANG DWIJA NAGA NARESWARA

Pataka Kerajaan Majapahit ini berbentuk pataka Nagari sebagai perwujudan dari naga kembar tirta amertha. Dibuat pada era Kerajaan Singasari pada abad 12-13 Masehi dan diwarisi oleh Kerajaan Majapahit. Berbentuk tombak dan terbuat dari tembaga. Menurut referensi, pataka ini berhasil diselamatkan oleh SANGRAMA WIJAYA ketika Kerajaan Singasari mengalami keruntuhan saat diserang oleh Kerajaan Gelang-Gelang. Pada pataka inilah pertama kali dikibarkan bendera Majapahit yang bernama Gula Kelapa (Merah-Putih) yang sekarang kita warisi menjadi Bendera Sang Saka Merah Putih.

2.      PATAKA SANG HYANG BARUNA

Tombak pataka ini dibuat pada jaman Kerajaan Singasari pada abad 12-13 Masehi. Pataka ini sempat diselamatkan oleh Sangrama Wijaya. Biasanya pataka ini dipasang di atas kapal yang memimpin atau mewakili rombongan ekspedisi kerajaan. . Bendera atau panji-panji yang dipasang bernama : “Getih – Getah Samudra” (lima garis merah dan empat garis putih), sebagai bendera armada militer SINGHASARI / MAJAPAHIT. Sampai saat ini bendera ini tetap dipakai oleh TNI-AL dalam kapal-kapal perangnya di perairan internasional, dengan nama panji-panji : “Ular-ular Tempur”.  Pataka ini pertama kali dibawa oleh pasukan ekspedisi Pamalayu dan diserahkan kembali kepada Kerajaan Majapahit sebagai penerus dari Kerajaan Singasari. Detail tombak ini sendiri, memiliki dua mata tombak kembar di atas kepala dan ekor naga.

3.      PATAKA SANG PADMANABA WIRANAGARI

Tombak Pataka Nagari Kerajaan Majapahit ketiga adalah Pataka Sang Padmanaba Wiranagari. Pada Tombak Pataka ini lah pertama kali di pasang Lambang Kerajaan Wilwatikta (Majapahit). Pada kain yang terbuat dari bahan tembaga dan bermakna Sang Padmanaba Wiranagari atau teratai kemuliaan pembelaan negeri. Pataka ini merupakan pataka yang sebelumnya dibawa oleh Jayakatwang Kediri namun berhasil direbut kembali oleh para Senopati Singasari pada ekspedisi Pamalayu. Dalam Ekspedisi Pamalayu, para Senopati berhasil merebut kembali lima panji pataka. Peninggalan Singasari yang ada di Daha, lima pataka Singasari tersebut akhirnya dibawa pulang yang itu juga merupakan peneguhan sikap kerabat di wilayah Daha bahwa Majapahit adalah bentuk Singasari yang sah dan penerus Raja Sawangsa

4.      SANG HYANG NAGA AMAWABHUMI

Pataka ini berbentuk tombak naga dengan bahan tembaga yang dikenal dengan sebutan Sanghyang Naga Amawabhumi atau berarti naga penjaga keadilan. Mereka yang memiliki Pataka ini harus mempunyai sikap seperti dalam Mukadimah Kutara Manawa. Dalam Mukadimah Kutara Manawa atau undang-undang jaman Majapahit ditegaskan bahwa seorang Amawabhumi teguh hatinya dalam menetapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban dari Sang Amawabhumi jika mengharapkan kerahayuan negaranya. Pataka ini juga diboyong dan diselamatkan oleh Sangrama Wijaya saat Singasari diserang.

Pataka-pataka tersebut saat ini berada di Amerika.

Tuesday, May 5, 2020

NABI KHIDR DALAM MASYARAKAT BANJAR


NABI KHIDR DALAM MASYARAKAT BANJAR

Bagi masyarakat Banjar Nabi Khidr adalah tokoh yang tidak asing di telinga. Di samping cerita dari Alquran (di antaranya QS Al Kahfi Ayat 65-82), Nabi Khidr juga merupakan tokoh mitologis yang berhubungan dengan air (sungai) dalam alam pikir Urang Banjar.
Masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Tabalong mempercayai bahwa Nabi Khidr masih hidup dan menjaga sungai. Bentuk-bentuk kepercayaan tersebut adalah tawasul, bapadah (meminta izin), dan manakib.

Ketika terjadi bahaya yang mengancam nyawa di sungai, selalu bertawassul kepada Nabi Khidr; membaca Alfatihah Empat dan berdoa, lalu diniatkan tawasul kepada Nabi Khidr. Begitu juga para pencari ikan, sebelum pergi memasang alat penangkap ikan atau menaiki jukung (perahu) mereka meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi Khidr agar mendapatkan hasil yang banyak ketika menangkap ikan.

Ada pula ketika orang yang selamat dari bahaya di sungai atau punya nazar tertentu akan mengadakan acara pembacaan manakib Nabi Khidr.

Dalam tesis Buaya Ghaib dalam Perspektif Urang Banjar Batang Banyu (2016), saya menjelaskan bahwa kepercayaan buaya ghaib pada masyarakat Kelua juga terkait dengan Nabi Khaidr, khususnya pada ritual Malabuh (memberi makan buaya ghaib). Ada beberapa jenis mantra ketika melakukan ritual malabuh, satu di antaranya menyebutkan Nabi Khidr:

“Assalamu’alaikum yaa Nabi Khaidir, ulun handak mambari anak buah sampiyan nang didalam banyu capat ditarima ini malam (Assalamualaikum Nabi Khaidir, saya ingin memberi makan anak buah engkau yang ada didalam air, cepatlah diterima ini malam.)

Nabi Khidr dalam Hikayat Banjar

Satu-satunya sumber tertulis yang bercerita tentang Nabi Khidr dalam mitologi lokal adalah Hikayat Banjar. Sastra melayu lama ini merupakan historiografi tradisional yang menceritakan asal-muasal Kesultanan Banjar.

Nabi Khidr dalam Hikayat Banjar (Resensi II) diceritakan memiliki dua orang istri; Dewi Sari Jaya yang merupakan saudara kandung Empu Jatmika, mereka adalah anak Saudagar Jantam dari negeri Keling dan Dewi Kasuma Sari puteri Batara Gangga dengan Sang Hyang Antabuga dari negeri bawah laut Gumilang Kaca.

Diceritakan pula bahwa Dewi Kasuma Sari dari negeri bawah laut Gumilang Kaca telah mengandung anak Nabi Khidr. Sebelum pulang ke bumi Nabi Khidr berpesan bahwa apabila anak yang dilahirkan Dewi Kasuma Sari berlainan bentuk dari dewa-dewa pada umumnya, hendaklah dibuang ke bumi. Kemudian Dewi Kasuma Sari melahirkan seorang bayi berjenis kelamin perempuan tetapi bentuknya tidak seperti dewa, melainkan seperti buah tembikai (semangka), tidak mempunyai kaki dan tangan. Akhirnya bayi tersebut dibuang ke bumi oleh Batara Gangga.

Sesampainya di bumi bayi tersebut berubah bentuk seperti manusia biasa, lalu bayi tersebut ditemukan oleh Nang Bangkiling beserta istri dan satu anak laki-lakinya di sebuah jurang. Ketika dipungut oleh Nang Bangkiling, bayi perempuan itu berbicara dan meminta Nang Bangkiling untuk memanggilnya dengan nama Raden Galuh Ciptasari.

Suatu hari Putri Galuh Ciptasari sedang mandi di sungai. Tidak jauh dari sana tampak Lambung Mangkurat di atas rakit batang pisang sedang bertapa untuk mendapatkan seorang raja. Oleh Batara Gangga diperintahkanlah dua ekor naga untuk membawa Putri Galuh Ciptasari yang tubuhnya dibungkus buih kepada Lambung Mangkurat. Setelah sampai di hadapan Lambung Mangkurat, buih itu berkata bahwa dialah raja yang dicari olehnya dan tidak akan keluar dari buih sebelum disediakan sehelai kain penutup badan serta istana yang bertiang betung berbintik yang diliputi oleh daun emas.

Setelah persyaratan disediakan oleh Lambung Mangkurat, maka keluarlah Putri Galuh Ciptasari dari buih tersebut. Kemudian dibawa oleh Lambung Mangkurat bersama dayang-dayang dan pembesar kerajaan ke Candi Agung. Sejak saat itu, Putri Galuh Ciptasari meminta dirinya dipanggil dengan nama Putri Junjung Buih, cikal bakal raja-raja Banjar.

Nabi Khidr pun mempunyai andil dalam mempersatukan Puteri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata

Ketika awal kedatangan Pangeran Suryanata yang keluar dari laut mengendarai naga putih, bermahkota emas, memakai keris Nagasalira dan tombak Sesa. Semua orang takjub, hingga seseorang berjubah putih yang tidak lain adalah Nabi Khidr pun datang dan menikahkan keduanya.

Hadirnya tokoh Nabi Khidr dalam mitologi Banjar, tentu tidak terlepas dari adanya pengaruh Melayu.
Menurut J.J Ras dalam disertasinya yang berjudul Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography
memaparkan bahwa pengaruh cerita dalam Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) dapat dilihat pada unsur-unsur Iskandar, yaitu adanya peran Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr dalam hikayat.

J.J Ras juga menjelaskan bahwa tujuan dimasukkannya Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr dalam hikayat Banjar bukan bermaksud untuk mengokohkan asumsi bahwa raja-raja melayu dan Banjar adalah keturunan keduanya, melainkan agar cerita lokal tersebut menjadi populer. Hal tersebut berarti bahwa adanya cerita lokal yang ikut “membonceng” kepopuleran tokoh Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr.

Transformasi Tokoh Mitologi

Idwar Saleh dalam bukunya yang berjudul Bandjarmasin menyatakan bahwa Urang Banjar merupakan hasil dari melting pot (kawah ganal pandodolan) dari melayu, dan beberapa unsur luar yang berintikan Dayak Ngaju (menjadi Banjar Kuala), Bukit (menjadi Banjar Hulu) dan Dayak Ma’anyan (menjadi Banjar Batang Banyu).

Hans Scharer dalam bukunya yang bejudul Ngaju Religion: The Conception of God among A South Borneo Peoplemenjelaskan bahwa konsep dewa Dayak Ngaju yang merupakan inti dari Urang Banjar Kuala bersifat dwitunggal.

Alam atas (upperworld) diwakili oleh tingang (burung enggang) dan alam bawah (underworld) diwakili oleh tambon (naga, buaya).

Seiring dengan perubahan zaman dan penetrasi kebudayaan luar, sangat mungkin sekali dwitunggal tersebut mengalami transformasi. Seperti halnya Raja Hantuen dalam mitologi Dayak Ngaju, ketika Hindu dan Syiwaisme aliran Kala-Cakra masuk ke Kalimantan bagian tenggara berubah menjadi Batara Kala.

Transformasi dwitunggal tersebut tentu mungkin berubah menjadi tokoh yang berbau Hindu dan Syiwaisme. Penguasa alam atas berubah menjadi Suryanata dan pengauasa alam bawah menjadi Junjung Buih. Hingga Islam masuk, dwitunggal ini pun turut dirasuki pengaruh Islam, yaitu adanya tokoh Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr.

Source : Alif ID

#FolksOfBanjar

Saturday, April 4, 2020

MENGENAL KETURUNAN ACEH


MENGENAL KETURUNAN ACEH

KETURUNAN atau sukee dalam bahasa Acheh dikenal sejak zaman Kebawah DYMM Paduka Baginda Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah yang diperkirakan pada tahun 1537 Masehi. Sultan Ala’uddin juga dikenal dengan nama dan sebutan lain, yakni Al-Kahhar atau Al-Kahhas setelah mangkat menjadi sultan.

Terdapat empat kaum atau dalam bahasa Acheh disebut kawom, untuk mengenal hal tersebut masyarakat sering mengingatnya dengan lantunan baik itu melalui syair dan sajak yakni sebagai berikut:
Sukee Lhee Reutoh
ban aneuk drang;
Sukee Ja Sandang
jra haleuba;
Sukee Ja Batee
na bacut-bacut;
Sukee Imum Peuet
nyang gok-gok donya;

Bila diartikan menjadi “Kaum Tiga Ratus sebagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh setelah musin memotong padi; segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang dengan subur. Kaum Ja Sandang sebagai jeura haleba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini digunakan untuk campuran menghilangkan bau hanyir. Biji tersebut lebih besar sedikit dari biji drang. Kaum Ja Batee atau disebut Tok Batee bacut-bacut, yakni hanya sedikit. Kaum Imum Peuet, mereka yang mengguncang dunia maksudnya berpengaruh besar dan berperanan penting dalam pemerintahan.”

Syair yang sering dikenal dalam masyarakat tersebut, kini juga populer dinyanyikan oleh seniman asal Acheh, Rafly dalam albumnya Surga Firdaus dengan judul Sukee 300. Jadi, secara tidak langsung banyak juga orang Aceh yang lupa dengan keberadaan kawom dan suku yang berada di Acheh. Sehingga tidak mengherankan, jika sekarang orang akan bertanya-tanya dengan sukee, bahasa apa itu serta apa maksudnya.

Asal muasal sebutan Lhee Reutoh atau “Tiga Ratus”, menurut cerita suatu ketika terjadi sengketa hebat antara golongan rakyat asli sekitar tiga ratus orang, dengan golongan pendatang Hindu sekitar empat ratus. Persengketaan hampir saja disusul dengan bentrok senjata antara dua golongan tersebut yang dipicu oleh kasus perzinahan. Namun, ditengah kecamuk tersebut, hadirlah penengah untuk memberikan jalan keluar dari persengketaan yang berlangsung.

Mereka yang bersalah akhirnya menerima keputusan, sehingga kesalahan mereka dimaafkan dan kedua pihak kemudian mengikat silaturrahmi dengan akrab. Cerita ini memang tidak terjamin kebenarannya, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa sebutan lhee reutoh dimaksudkan 300 keluarga atau 300 pria yang sanggup berperang, bahwa yang dimaksud disini adalah persekutuan (konfederasi) zaman dulu dan pasti terjadi dalam masa kesukaran atau perjuangan bersama.

Ja Sandang atau Tok Sandang. ja atau to yang berarti nenek moyang, kedua nama tersebut juga disebut Eumpee (dalam bahasa Melayu: empu). Sedangkan Cut berarti kecil, dipakai untuk awal nama pria atau wanita terkemuka. Sandang yang sebenarnya berarti membawa sesuatu di bawah lengan yang diikat pada tali yang melingkar bahu, nama ini masih melekat pada seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek yang sekarang disebut Teuku Sandang.

Selain ada cerita turun temurun di kawasang Mukim XXII, wilayah suku pribumi Manteue atau sering disebut sekarang daerah Lampanah yang menceritakan bahwa ketika Sulatan Al-Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan, maka melewati Mukim XXII Lampanah dan mengalami kehausan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan orang penyandang nira (ie jok). Orang tersebut menawarkan air niranya kepada Sultan dan menyambutnya dengan begitu rasa lega terutama setelah selesai memimunnya.

Sultan pun berterima kasih dan mengundang orang tersebut ke Dalam (sebutan Istana, -pen) di Banda Aceh untuk memberikan dia penghargaan sebagai tanda balas jasa atas kebaikan yang diberikannya kepada Sultan. Namun, orang tersebut pun bertanya, bagaimana bisa dia masuk ke Dalam dan dikenal oleh para pengawal istana. Sultan pun memberi petunjuk kepada orang tersebut dengan menyandang bambu (pajok) nira serta memberikan tanda sehelai daun kelapa di kepalanya. Akhir cerita setiap kali Ja Sandang pergi ke Istana, lambat laun diangkat oleh Sultan menjadi Qadhi dengan gelar Maliku’l Adil (Malikon Ade) karena dipercaya sebagai orang baik.

Ja Batee atau Tok Batee, menurut cerita ketika Sultan Al-Kahhar merencanakan pembangunann sebuah istana batu, maka dikeluarkan perintah supaya golongan pendatang dari luar daerah ini bergotong royong untuk mencari dan membawa batu-batu untuk pembangunan istana. Tiba-tiba pada suatu hari golongan ini saat mengumpulkan batu, Sultan memberikan seruan bahwa pencarian batu bisa dihentikan dan sudah cukup (tok batee). Sejak itulah golongan tersebut dinamakan kaum Tok Batee.

Sedangkan kawom terakhir yang dikenal dengan Imum Peueut (Empat Imam) disebabkan karena mereka menempati empat mukim, yaitu Tanoh Abe, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap mukim yang didiami dikepalai oleh seorang imam masing-masing dan kesemuanya ada empat imam sehingga menjadi Imum Peueut.

Memang jika dilihat lebih telisik, Imum Peueut menunjukkan persekutuan berbeda dibandingkan tiga sukee (Lhee Reutoh, Ja Sandang dan Ja Batee). Perlu diketahui bahwa jabatan Imum sama sekali terpisah dari kawom. Imum ini bertugas sebagai pemimpin dalam hal ibadah dan tidak memperoleh pangkat apa pun di dalam masyarakat.

Selain itu juga ada Imum yang menjadi kepala daerah (mukim), jabatan yang dimaksud adalah penguasa yang membentuknya tentu ada hubungan dengan agama.

Begitulah sederatan kisah Sukee atau keturunan dalam masyarakat Aceh, yang sampai saat ini cukup banyak mengalami kehilangan identitas diri dalam masyarakat Aceh sendiri, hadirnya sukee dalam masyarakat Aceh terjadi sama sekali tidak membuat perbedaan yang sangat berarti, melainkan sebagai media penyatu umat yang dinilai oleh bangsa luar sebagai bentuk susunan kesempurnaan keturunan yang lengkap sekali.

Referensi:

“Acheh Sepanjang Abad” Jilid I, H. Mohammad Said, Harian WASPADA Medan, 2007.

“De Atjehers” Jilid I, Dr. C. Snouck Hurgronje, E.J. Brill, Leiden, 1893.

KAMPUNG DALAM PAGAR DAN KAMPUNG TUNGGUL IRANG ADALAH DUA KAMPUNG DI MARTAPURA YANG TIDAK PERNAH DIJAMAH SERDADU JEPANG


KAMPUNG DALAM PAGAR DAN KAMPUNG TUNGGUL IRANG  ADALAH DUA KAMPUNG DI MARTAPURA YG TIDAK PERNAH DI JAMAH SERDADU JEPANG

Selama penjajahan -terutama masa masuknya tentara Jepang di Kalimantan Selatan-, dua kampung dikabarkan tidak bisa dimasuki tentara Jepang. Konon, dua orang ulama karismatik di kampung tersebut-lah penyebabnya.
Dua kampung yang dimaksud terdapat di wilayah Martapura. Yakni, Kampung Dalam Pagar dan Kampung Tunggul Irang. Di dua kampung tersebut ada dua ulama kenamaan. Di dalam Pagar ada Guru Acil Lamak, sementara di Kampung Tunggul Irang ada Tuan Guru Haji Abdurrahman atau Tunji Adu
"Tunji "dalam masyarakat martapura maknanya : Tuan Haji

Sebagaimana diceritakan Tuan Guru Haji Syaifuddin Zuhri, para tentara Jepang bisa memasuki Kampung Dalam Pagar berkat keberadaan Guru Acil Lamak.
Disebutkan oleh Tuan Guru Syaifuddin Zuhri, ada-ada saja masalah yang mereka alami ketika ingin memasuki kampung tersebut. Di antaranya, mereka tidak bisa menemukan kampung itu, karena hanya melihat hutan seperti tak berpenghuni.
Pernah suatu ketika dahulu tentara Jepang  hendak menyeberang (masuk) ke Kampung Dalam Pagar. Dari seberang sungai, Guru Acil Lamak duduk menatap mereka. Beliau pun mengambil Nyiru, kemudian menaruh kacang kedelai di atasnya.
Kacang-kacang tersebut kemudian “diadu” oleh beliau, seperti memainkan dua boneka kecil. Ajaibnya, tentara jepang yang hendak masuk ke Kampung Dalam Pagar tersebut malah berkelahi sesama sendiri , serdadu jepang vs serdadu jepang

Tuan Guru Acil Lamak ini adalah Guru daripada Tuan Guru Haji Zainal Ilmi,” jelas Tuan Guru Syaifuddin Zuhri,
Hal yang serupa terjadi ketika Serdadu Jepang hendak masuk ke Kampung Tunggul Irang. Namun ada saja yang membuat mereka tak bisa memasuki kampung tersebut. Satu di antaranya disebutkan dalam buku “Figur Kharismatik Tuan Guru Sekumpul”, yakni perahu mereka kandas dan tenggelam di sungai.
Dengan keberadaan dua ulama inilah, dua kampung tersebut dinilai paling aman di masa penjajahan Jepang.

Friday, April 3, 2020

ASAL MULA NAMA BELANDA


ASAL MULA NAMA BELANDA

Ada pertanyaan yang buat orang Belanda sendiri bingung. Ya orang Belanda akan bingung bila di tanya “asal kata Belanda itu dari mana?” Mengapa orang indonesia menyebut Negara Netherland dengan sebutan Belanda..? Padahal,bisa jadi orang Netherland kalau ditanya tentang Belanda juga bingung untuk menjawabnya. Orang Netherland di dunia Internasional dikenal dengan sebutan Dutch. Nama Dutch ini merujuk pada sebuah bahasa Jermanik Barat yang dituturkan oleh 20 juta jiwa diseluruh dunia. Namun beda dengan masyarakat indonesia yang menyebut orang-orang Netherland dengan sebutan Belanda, malah sebelumnya dengan sebutan Kompeni.

Kata Kompeni ini awalnya berasal dari orang-orang Jawa. Kata Kompeni sendiri berasal dari kata “Compagnie atau Company (perusahaan)” yang saat itu dikenal adalah “Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC”.Perusahaan Charter yang didirikan pada tahun 1602. Masyarakat pribumi dari orang-orang jawa biasa menyebut kompeni karena susah dan mungkin agak ribet bagi lidah untuk mengucapkan kata Compagnie maka terbiasalah dengan kata Kompeni. Sementara itu sebutan Belanda sendiri memiliki sejarah untuk rakyat indonesia. Banyak Versi yang menyebutkan awal mula kata Belanda. Ada yang berasal dari kata Holland. Karna Holland pada abad ke-17 adalah wilayah yang sangat populer dan sangat berkembang di negara Netherland.

Kemudian ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa kepopuleran istilah Belanda di indonesia diawali peristiwa Mudzakarah Ulama se-rumpun Melayu. Ketika itu diadakan tidak jauh dari kota Palembang, tepatnya disekitar daerah Pagar Alam, pada tahun 1650 M (1072 H). Ulama yang berkumpul sekitar 50 orang dari berbagai daerah, seperti dari kerajaan Mataram Islam, Pagaruyung, Malaka dan sebagainya. Tokoh utama pertemuan itu adalah Syeck Nurqodim al Baharudin (Puyang Awak), salah seorang cucu dari Sunan Gunung Jati. Dari peristiwa Mudzakarah inilah munculnya istilah Belanda sebagai sebutan bagi bangsa Netherland, yang menjadi penjajah ketika itu. Adapun makna kata Belanda, berasal dari kata “Belahnde (belah=memecah, nde=keluarga).”

Dan dengan menyebarnya, istilah Belanda ke seluruh pelosok Nusantara, menjadikan bukti bahwa hasil Mudzakarah tahun 1650 M telah menjadi “Konsensus Nasional”. Ada juga Teori lain yang muncul terkait dengan rambut pirang atau blonde dalam bahasa Inggrisnya dari orang-orang Netherland yang waktu itu menjajah indonesia. Kata blonde tersebut setelah disesuaikan dengan lidah pribumi menjadi Londo, lalu menjadi Belanda.

Wednesday, March 25, 2020

SNOUCK HURGRONJE


HAJI ABDUL GHAFFAR
(Christian Snouck Hurgronje)

Ketika Abdul Ghaffar tiba di Aceh, wilayah itu sedang dilanda perang selama belasan tahun. Sudah banyak korban berjatuhan, baik dari pihak Belanda maupun rakyat Aceh. Bagi orang Aceh, perang melawan orang Belanda itu adalah Perang Sabil. Mereka rela mengorbankan harta dan nyawa untuk perjuangan itu.
Dari sisi Belanda, kantong mereka sudah terkuras habis untuk perlawanan lokal terlama dalam sejarah kolonialisasi Belanda. Perang Aceh lebih lama ketimbang Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Abdul Ghaffar lah yang kelak bisa melihat kesalahan Belanda dalam peperangan Aceh tersebut.
Nasihat Abdul Ghaffar
Abdul Ghaffar punya banyak kenalan ulama dan sering kirim surat sejak ia ke Makkah. Ghaffar—sering juga disebut Gofur atau Gopur—tiba di Aceh pada 6 Juli 1891 setelah Teungku Chik di Tiro (1836-1891) meninggal.
Ketika itu, masjid Raya Aceh sudah lama dihanguskan militer Belanda. Itulah yang terus membuat semangat rakyat Aceh sedemikian membara untuk menumpas Belanda. Inilah kesalahan Belanda yang dilihat oleh Gopur. Ia pun mencoba mengingatkan kesalahan itu kepada pemerintah kolonial.
Gopur tak lama tinggal di sana. Ia tiba bulan Juni, dan meninggalkan Aceh pada Februari 1892. Dengan perawakan Eropanya dan kemampuan berbahasa Arabnya—plus dipandang oleh orang-orang bergelar haji karena sudah ke Mekkah pada usia 27—orang-orang Aceh itu mengira si Gopur adalah orang Arab. Setelah Februari 1892, kemungkinan besar Haji Gopur ke Betawi (Jakarta).
Ia pun pulang ke rumah Sangkana, wanita asal Cimahi yang dinikahinya sejak 1890, ketika belum lama tinggal di Hindia Belanda. Di sana, Gopur segera menulis pengalamannya di Aceh dan pemikirannya dalam tulisan berjudul De Atjeher , yang diterjemahkan sebagai
Rakyat Aceh .
Tak hanya itu, Gopur punya banyak tulisan soal Islam, yang berguna bagi pemerintah kolonial yang dilanda mabuk berat menghadapi rakyat Aceh.

Dari Abdul Ghaffar, pemerintah kolonial mendapat nasihat bagaimana harus menghadapi perlawanan keras orang-orang Aceh.
Sebenarnya, Gopur menyarankan agar militer KNIL Belanda bersikap baik untuk mengambil hati rakyat Aceh. Militer KNIL tak dibenarkan meneror rakyat, membakar kampung, dan merampas makanan rakyat Aceh.
Soal Islam, Gopur juga mengingatkan pemerintah kolonial dalam menghadapi Islam. Menurutnya, ada Islam sebagai agama yang tidak berbahaya, dan ada Islam sebagai kekuatan politik yang bisa berbahaya bagi pemerintah kolonial. Dan untuk soal terakhir, pemerintah tak perlu ragu-ragu untuk serius memberantasnya.
Selain meneliti soal Islam di Hindia Belanda, ia mengajar bahasa Arab di Betawi. Gopur dekat dengan pemerintah kolonial dan bangsawan di Priangan. Istrinya, Sangkana, adalah keturunan bangsawan.
Setelah Sangkana meninggal, Gopur menikah lagi dengan putri seorang penghulu di Jawa Barat juga. Sejak 1898, ia sudah menjadi penasihat urusan pribumi bagi pemerintah kolonial. Orang-orang tersebut, termasuk mertua-mertua yang merelakan anaknya dinikahi Gopur, agaknya sangat yakin jika laki-laki yang mirip orang Arab ini adalah Haji Abdul Gopur.

Siapa Abdul Ghaffar?
Orang yang mirip orang Arab yang kita maksud adalah Christian Snouck Hurgronje. Seperti banyak orang Islam, bagi Snouck yang agnostik, naik haji adalah salah satu hal penting dalam hidupnya.
Bedanya, ia pergi ke Makkah pada awal abad 20 demi kepentingan ilmiah karena ia akademisi. Sejak muda, ia penasaran pada Islam, sampai-sampai bahasa Arab dan Alquran pun ia pelajari.
Snouck terlahir sebagai anak pendeta Belanda. Sejak 1874, saat berusia 17 tahun, ia mulai belajar teologi di Universitas Leiden. Pada 1880, ia merampungkan Het Mekkaansche Feest (Perayaan Makkah ) meski belum pernah memasuki Kota Makkah. Makkah adalah kota tertutup bagi nonmuslim.
Begitu Het Mekkaansche Feest dirampungkan, Snouck jadi pengajar bagi mahasiswa sekolah pegawai yang akan dikirim ke Hindia Belanda sejak 1881. Kesempatan memasuki Makkah akhirnya datang pada 1885. Dengan penguasaan bahasa Arabnya, ia berhasil meyakinkan para ulama di Turki akan kesungguhannya belajar Islam. Ulama-ulama itu bahkan membimbingnya. Masuk Makkah tentu akan mudah asal beragama Islam. Menjadi Islam juga mudah, cukup berucap dua kalimat syahadat.
Akhirnya, menurut Hamid Algadri dalam Politik Belanda terhadap Islam dan keturunan Arab di Indonesia (1988), Snouck berhasil masuk Makkah dan terkesan bersungguh-sungguh seperti orang berhaji, hingga dianggap telah masuk Islam. Menurut Augustus Rally dalam Orang Kristen Naik Haji (2011), Snouck tinggal enam bulan di Makkah. Snouck bahkan ikut membuat foto-foto pemandangan musim haji di Makkah.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V , “Snouck Hurgronje tidak menaruh kepercayaan pada Islam sebagai kekuatan yang dapat membawa kemajuan.”
Menurut surat Snouck bertanggal 18 Februari 1886 kepada kawan kuliahnya, Carl Bezold, ia hanya berpura-pura saat mendalami Islam. Ia tak jauh beda dengan Wyn Sargent, yang rela menikahi istri Obahorok, kepala suku Dani, demi meneliti kehidupan suku Analaga. Kemampuan Snouck meneliti dengan menyamar sebagai muslim diakui matang oleh Vogel, peneliti Belanda lain.
“Banyak petualang yang menyamar dan beberapa orang berpengetahuan telah mengunjungi kota suci, tetapi Snouck Hurgronje, tiada keraguan, adalah yang terbaik. Ia hidup mengikuti cara hidup seorang muslim dengan nama Abdul Ghaffar,” tulis Vogel dalam Bukti-bukti Kebohongan Orientalis (1996).
Snouck Hurgronje alias Abdul Ghaffar meninggal pada 26 Juni 1936, tepat hari ini 83 tahun lalu. Ia dikenang sebagai orientalis-indolog yang sangat menguasai seluk-beluk Islam di Hindia Belanda.