Saturday, August 1, 2020

SEJARAH BERDIRINYA NAHDATUL ULAMA


SELAYANG PANDANG SEJARAH LAHIRNYA NAHDATUL ULAMA

Nahdlatul Ulama disingkat NU, merupakan suatu Jam’iyah Diniyah 
Islamiyah yang berarti Organisasi Keagamaan Islam. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H. Organisasi 
ini merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di dunia. Untuk mengetahui lebih dalam tentang NU secara lebih utuh, berikut ini adalah sejarah lahirnya NU.
A. SITUASI MENJELANG LAHIRNYA NU
Berakhirnya perang dunia pertama berdampak besar terhadap dunia islam. Para cendikiawan muslim di negara Islam mencoba 
menawarkan gagasan baru dalam rangka pembaharuan dalam Islam. Tokoh-tokoh yang gencar menyuarakan pembaharuan dalam Islam adalah Ibnu Sa`ud di Mekah, Syaikh Muhammad Abduh di Mesir, Jamaluddin al Afgani di Afganistan, Musthafa Kamal Pasha di Turki.Di Indonesia sendiri gerakan pembaharu muncul dengan didirikannya Syarikat Islam oleh H.O.S. Tjakroaminoto, lalu Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Al Irsyad oleh Syaikh Ahmad Sarkati.Para pembaharu tersebut, menyuarakan kepada umat Islam 
di seluruh dunia agar kembali kepada al Qur`an dan Hadits. Ajaran Islam yang tidak berdasarkan al Qur`an dan Hadits adalah bid`ah dan khurafat seperti bermadzhab, ziarah kubur/haul dan kuburan harus 
dihilangkan dari muka bumi.
Disisi lain, pada tahun 1916 KH. Abdul Wahab Hasbullah sepulang 
dari Mekah untuk belajar berhasil mendirikan Madrasah di Surabaya 
yang bernama “Nahdlatul Wathan” (Kebangkitan Tanah Air). Selanjutnya 
madrasah ini disebut “Jam`iyah Nashihin” dikarenakan madrasah ini juga merupakan tempat melatih para remaja calon pemimpin dan mubalig.Kemudian pada tahun 1918 didirikannlah sebuah koperasi 
pedagang yang bernama Nahdlatul Tujjar. Tidak lama kemudian saat menjelang tahun 1919, di Surabaya didirikan madrasah baru 
yang bernama Taswirul Afkar. Tujuan utama didirikan madrasah ini adalah untuk menyediakan tempat untuk mengaji dan belajar. Kelak madrasah ini menjadi sayap untuk kepentingan membela kelompok 
Islam tradisional.
Cikal Bakal lahirnya Nahdlatul Ulama diawali dengan dibentuknya 
organisasi pergerakan seperti “Nahdlatul Wathan” (Kebangkitan Tanah 
Air), ”Taswirul Afkar” atau sering dikenal dengan (Nahdlatul Fikr) serta 
didirkannya “Nahdlatul Tujjar”
Pada tahun 1924 M. pimpinan Wahabi, Ibnu Sa`ud hendak menerapkan asas tunggal yakni madzhab Wahabi di Mekah. Segera 
setelah itu Raja Ibnu Sa’ud mulai melakukan pembersihan praktek praktek beragama yang tidak sesuai dengan faham mereka serta 
mengundang kepada umat Islam di seluruh dunia untuk menghadiri Kongres umat Islam di Mekah.Menanggapi undangan tersebut umat Islam Indonesia segera menggelar Kongres al-Islam keempat di Yogyakarta, pada tanggal 21-
27 Agustus 1925 untuk membahas sikap dari umat Islam Indonesia terhadap rencana Raja Ibnu Sa’ud. Dalam kongres tersebut kalangan 
Islam tradisional menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan perdaban Islam. Dengan sikap yang berbeda itu kalangan pesantren (Islam Tradisional) tidak diikut sertakan dalam delegasi Kongres Islam Internasional di Mekah. 
B. DETIK-DETIK KELAHIRAN NU
Didorong oleh semangat yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban Islam maka dengan prakarsa K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. 
Muhammad Hasyim Asy`ari para ulama berkumpul di rumah K.H. Abdul Wahab Hasbullah kampung Kertopaten, Surabaya. Adapun para alim ulama yang hadir dalam pertemuan ini adalah:
1.K.H. Muhammad Hasyim Asy`ari Jombang
2.K.H. Abdul Wahab Hashbullah Jombang
3.K.H. Bisri Syamsuri Denanyar Jombang
4.K.H. Raden Haji Asnawi Kudus
5.K.H. Ma`sum Lasem
6.K.H. Ridwan Semarang
7.K.H. Nawawi Pasuruan
8.K.H. Nahrowi Malang
9.K.H. Ridwan Surabaya
10.K.H. Alwi Abdul Aziz Malang
11.K. Abdullah Ubaid Surabaya
12.K.H. Abdul Halim Leuwimunding, Cirebon
13.K.H. Doro Munthaha Bangkalan, Madura
14.K.H. Dahlan `Abdulqahar Kertosono
15.K.H. Abdullah Faqih Gresik

Dalam pertemuan tersebut ada tiga hal penting diputuskan, yaitu:
1.Meresmikan berdirinya ”Komite Hijaz”. Yang selanjutnya mengutus K.H.R. Asnawi Kudus untuk menghadap Raja Ibnu Sa`ud di Mekah, 
2.Membentuk suatu Jam`iyah untuk wadah persatuan para ulama dalam tugas memimpin umat Islam menuju tercapainya cita-cita ”Izzul Islam wal Muslim”, kejayaan Islam dan kaum muslimin bernama Jam`iyah Nahdlatul Ulama. Nama Nahdlatul Ulama merupakan usulan dari K.H. M. Alwi Abdul Aziz 
3.Membatasi masa kerja Komite Hijaz,yaitu sepulangnya delegasi dari Mekah, maka komite Hijaz bubar.Dalam rapat tersebut juga menyusun pengurus jam`iyah Nahdlatul Ulama yang pertama dan terdiri dari dua bagian yaitu bagian Syuriyah dan bagian Tanfidiyah.
      *Pengurus Syuriyah adalah:*
*Rais Akbar : K.H. Muhammad Hasyim Asy`ari, Tebuireng Jombang*
*Wk. Rois Akbar : K.H. Dahlan, Kebondalem, Surabaya*
*Katib Awal : K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Surabaya*
*Katib Tsani : K.H. Abdul Halim, Leuwimunding, Cirebon*
*A`wan : K.H. M. Alwi Abdul Aziz, Surabaya*
 *K.H. Ridwan, Surabaya*
 *K.H. Sa`id, Surabaya*
 *K.H. Bisyri Sansoeri, Denanyar Jombang*
 *K.H. Abdullah Ubaid, Surabaya*
 *K.H. Nachrowi, Malang*
 *K.H. Amin, Surabaya*
 *K.H. Masyhuri, Lasem*
 *K.H. Nachrowi, Surabaya*
Musytasyar : K.H. R. Asnawi, Kudus
 *K.H. Ridwan, Semarang*
 *K.H. Ms. Nawawi, Sidogiri, Pasuruhan.*
 *K.H. Ndoro Muntaha, Bangkalan Madura*
 *Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Mishry, Mesir*
 *K.H.R. Hambali, Kudus*

*Sedang Pengurus Tasnfidziyahnya adalah sebagai berikut:*
*Ketua : H. Hasan Gipo, Surabaya*
*Penulis : M. Sidiq Sugeng* *Yudodiwiryo, Pemalang*
*Bendahara : H. Burhan, Surabaya*
*Pembantu : H. Saleh Syamil, Surabaya*
*: H. Ichsan, Surabaya*
*: H. Ja`far Alwan, Surabaya*
*: H. Utsman, Surabaya*
*: H. Achzab, Surabaya*
* H. Nawawi, Surabaya*
* H. Dahlan, Surabaya
* H. Mangun, Surabaya*

Setelah berakhirnya pertemuan ulama di Surabaya dan mendirikan Komite Hijaz. Maka lewat Komite Hijaz ini diutuslah KH.R. Asnawi untuk menghadap Raja Ibnu Sa’ud guna membicarakan perubahan perubahan peribadatan yang akan dilaksanakan di Mekah. Komite Hijaz adalah nama sebuah kepanitiaan kecil yang diketuai oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Panitia ini bertugas menemui raja Ibnu Sa’ud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan.
Akan tetapi pada pelaksanaanya, dikarenakan beberapa faktor maka K.H.R. Asnawi digantikan oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan Shaikh Ahmad Ghanaim Al-Mishry untuk berangkat ke Mekah.Dari dua orang utusan yang berangkat ke Mekah itu membawa 
hasil yang memuaskan, yaitu:
1) Penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia sekarang) akan bersikap adil serta melindungi adanya ajaran Empat Madzhab.
2) Ajaran Ahlussunah wal Jama`ah atau yang berhaluan Empat Madzhab yang biasa berlaku dalam Masjidil Haram tetap dihormati dan tidak dilarang.
3) Tidak ada larangan dan dijamin keamanannya orang-orang yang berziarah ke makam-makam di wilayah Hijaz Nejed, 
terutama makam-makam yang bersejarah, seperti makam nabi dan para sahabat.

Friday, July 24, 2020

PATAKA KERAJAAN MAJAPAHIT


1.      PATAKA SANG DWIJA NAGA NARESWARA

Pataka Kerajaan Majapahit ini berbentuk pataka Nagari sebagai perwujudan dari naga kembar tirta amertha. Dibuat pada era Kerajaan Singasari pada abad 12-13 Masehi dan diwarisi oleh Kerajaan Majapahit. Berbentuk tombak dan terbuat dari tembaga. Menurut referensi, pataka ini berhasil diselamatkan oleh SANGRAMA WIJAYA ketika Kerajaan Singasari mengalami keruntuhan saat diserang oleh Kerajaan Gelang-Gelang. Pada pataka inilah pertama kali dikibarkan bendera Majapahit yang bernama Gula Kelapa (Merah-Putih) yang sekarang kita warisi menjadi Bendera Sang Saka Merah Putih.

2.      PATAKA SANG HYANG BARUNA

Tombak pataka ini dibuat pada jaman Kerajaan Singasari pada abad 12-13 Masehi. Pataka ini sempat diselamatkan oleh Sangrama Wijaya. Biasanya pataka ini dipasang di atas kapal yang memimpin atau mewakili rombongan ekspedisi kerajaan. . Bendera atau panji-panji yang dipasang bernama : “Getih – Getah Samudra” (lima garis merah dan empat garis putih), sebagai bendera armada militer SINGHASARI / MAJAPAHIT. Sampai saat ini bendera ini tetap dipakai oleh TNI-AL dalam kapal-kapal perangnya di perairan internasional, dengan nama panji-panji : “Ular-ular Tempur”.  Pataka ini pertama kali dibawa oleh pasukan ekspedisi Pamalayu dan diserahkan kembali kepada Kerajaan Majapahit sebagai penerus dari Kerajaan Singasari. Detail tombak ini sendiri, memiliki dua mata tombak kembar di atas kepala dan ekor naga.

3.      PATAKA SANG PADMANABA WIRANAGARI

Tombak Pataka Nagari Kerajaan Majapahit ketiga adalah Pataka Sang Padmanaba Wiranagari. Pada Tombak Pataka ini lah pertama kali di pasang Lambang Kerajaan Wilwatikta (Majapahit). Pada kain yang terbuat dari bahan tembaga dan bermakna Sang Padmanaba Wiranagari atau teratai kemuliaan pembelaan negeri. Pataka ini merupakan pataka yang sebelumnya dibawa oleh Jayakatwang Kediri namun berhasil direbut kembali oleh para Senopati Singasari pada ekspedisi Pamalayu. Dalam Ekspedisi Pamalayu, para Senopati berhasil merebut kembali lima panji pataka. Peninggalan Singasari yang ada di Daha, lima pataka Singasari tersebut akhirnya dibawa pulang yang itu juga merupakan peneguhan sikap kerabat di wilayah Daha bahwa Majapahit adalah bentuk Singasari yang sah dan penerus Raja Sawangsa

4.      SANG HYANG NAGA AMAWABHUMI

Pataka ini berbentuk tombak naga dengan bahan tembaga yang dikenal dengan sebutan Sanghyang Naga Amawabhumi atau berarti naga penjaga keadilan. Mereka yang memiliki Pataka ini harus mempunyai sikap seperti dalam Mukadimah Kutara Manawa. Dalam Mukadimah Kutara Manawa atau undang-undang jaman Majapahit ditegaskan bahwa seorang Amawabhumi teguh hatinya dalam menetapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban dari Sang Amawabhumi jika mengharapkan kerahayuan negaranya. Pataka ini juga diboyong dan diselamatkan oleh Sangrama Wijaya saat Singasari diserang.

Pataka-pataka tersebut saat ini berada di Amerika.

Tuesday, May 5, 2020

NABI KHIDR DALAM MASYARAKAT BANJAR


NABI KHIDR DALAM MASYARAKAT BANJAR

Bagi masyarakat Banjar Nabi Khidr adalah tokoh yang tidak asing di telinga. Di samping cerita dari Alquran (di antaranya QS Al Kahfi Ayat 65-82), Nabi Khidr juga merupakan tokoh mitologis yang berhubungan dengan air (sungai) dalam alam pikir Urang Banjar.
Masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Tabalong mempercayai bahwa Nabi Khidr masih hidup dan menjaga sungai. Bentuk-bentuk kepercayaan tersebut adalah tawasul, bapadah (meminta izin), dan manakib.

Ketika terjadi bahaya yang mengancam nyawa di sungai, selalu bertawassul kepada Nabi Khidr; membaca Alfatihah Empat dan berdoa, lalu diniatkan tawasul kepada Nabi Khidr. Begitu juga para pencari ikan, sebelum pergi memasang alat penangkap ikan atau menaiki jukung (perahu) mereka meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi Khidr agar mendapatkan hasil yang banyak ketika menangkap ikan.

Ada pula ketika orang yang selamat dari bahaya di sungai atau punya nazar tertentu akan mengadakan acara pembacaan manakib Nabi Khidr.

Dalam tesis Buaya Ghaib dalam Perspektif Urang Banjar Batang Banyu (2016), saya menjelaskan bahwa kepercayaan buaya ghaib pada masyarakat Kelua juga terkait dengan Nabi Khaidr, khususnya pada ritual Malabuh (memberi makan buaya ghaib). Ada beberapa jenis mantra ketika melakukan ritual malabuh, satu di antaranya menyebutkan Nabi Khidr:

“Assalamu’alaikum yaa Nabi Khaidir, ulun handak mambari anak buah sampiyan nang didalam banyu capat ditarima ini malam (Assalamualaikum Nabi Khaidir, saya ingin memberi makan anak buah engkau yang ada didalam air, cepatlah diterima ini malam.)

Nabi Khidr dalam Hikayat Banjar

Satu-satunya sumber tertulis yang bercerita tentang Nabi Khidr dalam mitologi lokal adalah Hikayat Banjar. Sastra melayu lama ini merupakan historiografi tradisional yang menceritakan asal-muasal Kesultanan Banjar.

Nabi Khidr dalam Hikayat Banjar (Resensi II) diceritakan memiliki dua orang istri; Dewi Sari Jaya yang merupakan saudara kandung Empu Jatmika, mereka adalah anak Saudagar Jantam dari negeri Keling dan Dewi Kasuma Sari puteri Batara Gangga dengan Sang Hyang Antabuga dari negeri bawah laut Gumilang Kaca.

Diceritakan pula bahwa Dewi Kasuma Sari dari negeri bawah laut Gumilang Kaca telah mengandung anak Nabi Khidr. Sebelum pulang ke bumi Nabi Khidr berpesan bahwa apabila anak yang dilahirkan Dewi Kasuma Sari berlainan bentuk dari dewa-dewa pada umumnya, hendaklah dibuang ke bumi. Kemudian Dewi Kasuma Sari melahirkan seorang bayi berjenis kelamin perempuan tetapi bentuknya tidak seperti dewa, melainkan seperti buah tembikai (semangka), tidak mempunyai kaki dan tangan. Akhirnya bayi tersebut dibuang ke bumi oleh Batara Gangga.

Sesampainya di bumi bayi tersebut berubah bentuk seperti manusia biasa, lalu bayi tersebut ditemukan oleh Nang Bangkiling beserta istri dan satu anak laki-lakinya di sebuah jurang. Ketika dipungut oleh Nang Bangkiling, bayi perempuan itu berbicara dan meminta Nang Bangkiling untuk memanggilnya dengan nama Raden Galuh Ciptasari.

Suatu hari Putri Galuh Ciptasari sedang mandi di sungai. Tidak jauh dari sana tampak Lambung Mangkurat di atas rakit batang pisang sedang bertapa untuk mendapatkan seorang raja. Oleh Batara Gangga diperintahkanlah dua ekor naga untuk membawa Putri Galuh Ciptasari yang tubuhnya dibungkus buih kepada Lambung Mangkurat. Setelah sampai di hadapan Lambung Mangkurat, buih itu berkata bahwa dialah raja yang dicari olehnya dan tidak akan keluar dari buih sebelum disediakan sehelai kain penutup badan serta istana yang bertiang betung berbintik yang diliputi oleh daun emas.

Setelah persyaratan disediakan oleh Lambung Mangkurat, maka keluarlah Putri Galuh Ciptasari dari buih tersebut. Kemudian dibawa oleh Lambung Mangkurat bersama dayang-dayang dan pembesar kerajaan ke Candi Agung. Sejak saat itu, Putri Galuh Ciptasari meminta dirinya dipanggil dengan nama Putri Junjung Buih, cikal bakal raja-raja Banjar.

Nabi Khidr pun mempunyai andil dalam mempersatukan Puteri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata

Ketika awal kedatangan Pangeran Suryanata yang keluar dari laut mengendarai naga putih, bermahkota emas, memakai keris Nagasalira dan tombak Sesa. Semua orang takjub, hingga seseorang berjubah putih yang tidak lain adalah Nabi Khidr pun datang dan menikahkan keduanya.

Hadirnya tokoh Nabi Khidr dalam mitologi Banjar, tentu tidak terlepas dari adanya pengaruh Melayu.
Menurut J.J Ras dalam disertasinya yang berjudul Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography
memaparkan bahwa pengaruh cerita dalam Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) dapat dilihat pada unsur-unsur Iskandar, yaitu adanya peran Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr dalam hikayat.

J.J Ras juga menjelaskan bahwa tujuan dimasukkannya Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr dalam hikayat Banjar bukan bermaksud untuk mengokohkan asumsi bahwa raja-raja melayu dan Banjar adalah keturunan keduanya, melainkan agar cerita lokal tersebut menjadi populer. Hal tersebut berarti bahwa adanya cerita lokal yang ikut “membonceng” kepopuleran tokoh Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr.

Transformasi Tokoh Mitologi

Idwar Saleh dalam bukunya yang berjudul Bandjarmasin menyatakan bahwa Urang Banjar merupakan hasil dari melting pot (kawah ganal pandodolan) dari melayu, dan beberapa unsur luar yang berintikan Dayak Ngaju (menjadi Banjar Kuala), Bukit (menjadi Banjar Hulu) dan Dayak Ma’anyan (menjadi Banjar Batang Banyu).

Hans Scharer dalam bukunya yang bejudul Ngaju Religion: The Conception of God among A South Borneo Peoplemenjelaskan bahwa konsep dewa Dayak Ngaju yang merupakan inti dari Urang Banjar Kuala bersifat dwitunggal.

Alam atas (upperworld) diwakili oleh tingang (burung enggang) dan alam bawah (underworld) diwakili oleh tambon (naga, buaya).

Seiring dengan perubahan zaman dan penetrasi kebudayaan luar, sangat mungkin sekali dwitunggal tersebut mengalami transformasi. Seperti halnya Raja Hantuen dalam mitologi Dayak Ngaju, ketika Hindu dan Syiwaisme aliran Kala-Cakra masuk ke Kalimantan bagian tenggara berubah menjadi Batara Kala.

Transformasi dwitunggal tersebut tentu mungkin berubah menjadi tokoh yang berbau Hindu dan Syiwaisme. Penguasa alam atas berubah menjadi Suryanata dan pengauasa alam bawah menjadi Junjung Buih. Hingga Islam masuk, dwitunggal ini pun turut dirasuki pengaruh Islam, yaitu adanya tokoh Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr.

Source : Alif ID

#FolksOfBanjar

Saturday, April 4, 2020

MENGENAL KETURUNAN ACEH


MENGENAL KETURUNAN ACEH

KETURUNAN atau sukee dalam bahasa Acheh dikenal sejak zaman Kebawah DYMM Paduka Baginda Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah yang diperkirakan pada tahun 1537 Masehi. Sultan Ala’uddin juga dikenal dengan nama dan sebutan lain, yakni Al-Kahhar atau Al-Kahhas setelah mangkat menjadi sultan.

Terdapat empat kaum atau dalam bahasa Acheh disebut kawom, untuk mengenal hal tersebut masyarakat sering mengingatnya dengan lantunan baik itu melalui syair dan sajak yakni sebagai berikut:
Sukee Lhee Reutoh
ban aneuk drang;
Sukee Ja Sandang
jra haleuba;
Sukee Ja Batee
na bacut-bacut;
Sukee Imum Peuet
nyang gok-gok donya;

Bila diartikan menjadi “Kaum Tiga Ratus sebagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh setelah musin memotong padi; segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang dengan subur. Kaum Ja Sandang sebagai jeura haleba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini digunakan untuk campuran menghilangkan bau hanyir. Biji tersebut lebih besar sedikit dari biji drang. Kaum Ja Batee atau disebut Tok Batee bacut-bacut, yakni hanya sedikit. Kaum Imum Peuet, mereka yang mengguncang dunia maksudnya berpengaruh besar dan berperanan penting dalam pemerintahan.”

Syair yang sering dikenal dalam masyarakat tersebut, kini juga populer dinyanyikan oleh seniman asal Acheh, Rafly dalam albumnya Surga Firdaus dengan judul Sukee 300. Jadi, secara tidak langsung banyak juga orang Aceh yang lupa dengan keberadaan kawom dan suku yang berada di Acheh. Sehingga tidak mengherankan, jika sekarang orang akan bertanya-tanya dengan sukee, bahasa apa itu serta apa maksudnya.

Asal muasal sebutan Lhee Reutoh atau “Tiga Ratus”, menurut cerita suatu ketika terjadi sengketa hebat antara golongan rakyat asli sekitar tiga ratus orang, dengan golongan pendatang Hindu sekitar empat ratus. Persengketaan hampir saja disusul dengan bentrok senjata antara dua golongan tersebut yang dipicu oleh kasus perzinahan. Namun, ditengah kecamuk tersebut, hadirlah penengah untuk memberikan jalan keluar dari persengketaan yang berlangsung.

Mereka yang bersalah akhirnya menerima keputusan, sehingga kesalahan mereka dimaafkan dan kedua pihak kemudian mengikat silaturrahmi dengan akrab. Cerita ini memang tidak terjamin kebenarannya, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa sebutan lhee reutoh dimaksudkan 300 keluarga atau 300 pria yang sanggup berperang, bahwa yang dimaksud disini adalah persekutuan (konfederasi) zaman dulu dan pasti terjadi dalam masa kesukaran atau perjuangan bersama.

Ja Sandang atau Tok Sandang. ja atau to yang berarti nenek moyang, kedua nama tersebut juga disebut Eumpee (dalam bahasa Melayu: empu). Sedangkan Cut berarti kecil, dipakai untuk awal nama pria atau wanita terkemuka. Sandang yang sebenarnya berarti membawa sesuatu di bawah lengan yang diikat pada tali yang melingkar bahu, nama ini masih melekat pada seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek yang sekarang disebut Teuku Sandang.

Selain ada cerita turun temurun di kawasang Mukim XXII, wilayah suku pribumi Manteue atau sering disebut sekarang daerah Lampanah yang menceritakan bahwa ketika Sulatan Al-Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan, maka melewati Mukim XXII Lampanah dan mengalami kehausan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan orang penyandang nira (ie jok). Orang tersebut menawarkan air niranya kepada Sultan dan menyambutnya dengan begitu rasa lega terutama setelah selesai memimunnya.

Sultan pun berterima kasih dan mengundang orang tersebut ke Dalam (sebutan Istana, -pen) di Banda Aceh untuk memberikan dia penghargaan sebagai tanda balas jasa atas kebaikan yang diberikannya kepada Sultan. Namun, orang tersebut pun bertanya, bagaimana bisa dia masuk ke Dalam dan dikenal oleh para pengawal istana. Sultan pun memberi petunjuk kepada orang tersebut dengan menyandang bambu (pajok) nira serta memberikan tanda sehelai daun kelapa di kepalanya. Akhir cerita setiap kali Ja Sandang pergi ke Istana, lambat laun diangkat oleh Sultan menjadi Qadhi dengan gelar Maliku’l Adil (Malikon Ade) karena dipercaya sebagai orang baik.

Ja Batee atau Tok Batee, menurut cerita ketika Sultan Al-Kahhar merencanakan pembangunann sebuah istana batu, maka dikeluarkan perintah supaya golongan pendatang dari luar daerah ini bergotong royong untuk mencari dan membawa batu-batu untuk pembangunan istana. Tiba-tiba pada suatu hari golongan ini saat mengumpulkan batu, Sultan memberikan seruan bahwa pencarian batu bisa dihentikan dan sudah cukup (tok batee). Sejak itulah golongan tersebut dinamakan kaum Tok Batee.

Sedangkan kawom terakhir yang dikenal dengan Imum Peueut (Empat Imam) disebabkan karena mereka menempati empat mukim, yaitu Tanoh Abe, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap mukim yang didiami dikepalai oleh seorang imam masing-masing dan kesemuanya ada empat imam sehingga menjadi Imum Peueut.

Memang jika dilihat lebih telisik, Imum Peueut menunjukkan persekutuan berbeda dibandingkan tiga sukee (Lhee Reutoh, Ja Sandang dan Ja Batee). Perlu diketahui bahwa jabatan Imum sama sekali terpisah dari kawom. Imum ini bertugas sebagai pemimpin dalam hal ibadah dan tidak memperoleh pangkat apa pun di dalam masyarakat.

Selain itu juga ada Imum yang menjadi kepala daerah (mukim), jabatan yang dimaksud adalah penguasa yang membentuknya tentu ada hubungan dengan agama.

Begitulah sederatan kisah Sukee atau keturunan dalam masyarakat Aceh, yang sampai saat ini cukup banyak mengalami kehilangan identitas diri dalam masyarakat Aceh sendiri, hadirnya sukee dalam masyarakat Aceh terjadi sama sekali tidak membuat perbedaan yang sangat berarti, melainkan sebagai media penyatu umat yang dinilai oleh bangsa luar sebagai bentuk susunan kesempurnaan keturunan yang lengkap sekali.

Referensi:

“Acheh Sepanjang Abad” Jilid I, H. Mohammad Said, Harian WASPADA Medan, 2007.

“De Atjehers” Jilid I, Dr. C. Snouck Hurgronje, E.J. Brill, Leiden, 1893.

KAMPUNG DALAM PAGAR DAN KAMPUNG TUNGGUL IRANG ADALAH DUA KAMPUNG DI MARTAPURA YANG TIDAK PERNAH DIJAMAH SERDADU JEPANG


KAMPUNG DALAM PAGAR DAN KAMPUNG TUNGGUL IRANG  ADALAH DUA KAMPUNG DI MARTAPURA YG TIDAK PERNAH DI JAMAH SERDADU JEPANG

Selama penjajahan -terutama masa masuknya tentara Jepang di Kalimantan Selatan-, dua kampung dikabarkan tidak bisa dimasuki tentara Jepang. Konon, dua orang ulama karismatik di kampung tersebut-lah penyebabnya.
Dua kampung yang dimaksud terdapat di wilayah Martapura. Yakni, Kampung Dalam Pagar dan Kampung Tunggul Irang. Di dua kampung tersebut ada dua ulama kenamaan. Di dalam Pagar ada Guru Acil Lamak, sementara di Kampung Tunggul Irang ada Tuan Guru Haji Abdurrahman atau Tunji Adu
"Tunji "dalam masyarakat martapura maknanya : Tuan Haji

Sebagaimana diceritakan Tuan Guru Haji Syaifuddin Zuhri, para tentara Jepang bisa memasuki Kampung Dalam Pagar berkat keberadaan Guru Acil Lamak.
Disebutkan oleh Tuan Guru Syaifuddin Zuhri, ada-ada saja masalah yang mereka alami ketika ingin memasuki kampung tersebut. Di antaranya, mereka tidak bisa menemukan kampung itu, karena hanya melihat hutan seperti tak berpenghuni.
Pernah suatu ketika dahulu tentara Jepang  hendak menyeberang (masuk) ke Kampung Dalam Pagar. Dari seberang sungai, Guru Acil Lamak duduk menatap mereka. Beliau pun mengambil Nyiru, kemudian menaruh kacang kedelai di atasnya.
Kacang-kacang tersebut kemudian “diadu” oleh beliau, seperti memainkan dua boneka kecil. Ajaibnya, tentara jepang yang hendak masuk ke Kampung Dalam Pagar tersebut malah berkelahi sesama sendiri , serdadu jepang vs serdadu jepang

Tuan Guru Acil Lamak ini adalah Guru daripada Tuan Guru Haji Zainal Ilmi,” jelas Tuan Guru Syaifuddin Zuhri,
Hal yang serupa terjadi ketika Serdadu Jepang hendak masuk ke Kampung Tunggul Irang. Namun ada saja yang membuat mereka tak bisa memasuki kampung tersebut. Satu di antaranya disebutkan dalam buku “Figur Kharismatik Tuan Guru Sekumpul”, yakni perahu mereka kandas dan tenggelam di sungai.
Dengan keberadaan dua ulama inilah, dua kampung tersebut dinilai paling aman di masa penjajahan Jepang.

Friday, April 3, 2020

ASAL MULA NAMA BELANDA


ASAL MULA NAMA BELANDA

Ada pertanyaan yang buat orang Belanda sendiri bingung. Ya orang Belanda akan bingung bila di tanya “asal kata Belanda itu dari mana?” Mengapa orang indonesia menyebut Negara Netherland dengan sebutan Belanda..? Padahal,bisa jadi orang Netherland kalau ditanya tentang Belanda juga bingung untuk menjawabnya. Orang Netherland di dunia Internasional dikenal dengan sebutan Dutch. Nama Dutch ini merujuk pada sebuah bahasa Jermanik Barat yang dituturkan oleh 20 juta jiwa diseluruh dunia. Namun beda dengan masyarakat indonesia yang menyebut orang-orang Netherland dengan sebutan Belanda, malah sebelumnya dengan sebutan Kompeni.

Kata Kompeni ini awalnya berasal dari orang-orang Jawa. Kata Kompeni sendiri berasal dari kata “Compagnie atau Company (perusahaan)” yang saat itu dikenal adalah “Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC”.Perusahaan Charter yang didirikan pada tahun 1602. Masyarakat pribumi dari orang-orang jawa biasa menyebut kompeni karena susah dan mungkin agak ribet bagi lidah untuk mengucapkan kata Compagnie maka terbiasalah dengan kata Kompeni. Sementara itu sebutan Belanda sendiri memiliki sejarah untuk rakyat indonesia. Banyak Versi yang menyebutkan awal mula kata Belanda. Ada yang berasal dari kata Holland. Karna Holland pada abad ke-17 adalah wilayah yang sangat populer dan sangat berkembang di negara Netherland.

Kemudian ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa kepopuleran istilah Belanda di indonesia diawali peristiwa Mudzakarah Ulama se-rumpun Melayu. Ketika itu diadakan tidak jauh dari kota Palembang, tepatnya disekitar daerah Pagar Alam, pada tahun 1650 M (1072 H). Ulama yang berkumpul sekitar 50 orang dari berbagai daerah, seperti dari kerajaan Mataram Islam, Pagaruyung, Malaka dan sebagainya. Tokoh utama pertemuan itu adalah Syeck Nurqodim al Baharudin (Puyang Awak), salah seorang cucu dari Sunan Gunung Jati. Dari peristiwa Mudzakarah inilah munculnya istilah Belanda sebagai sebutan bagi bangsa Netherland, yang menjadi penjajah ketika itu. Adapun makna kata Belanda, berasal dari kata “Belahnde (belah=memecah, nde=keluarga).”

Dan dengan menyebarnya, istilah Belanda ke seluruh pelosok Nusantara, menjadikan bukti bahwa hasil Mudzakarah tahun 1650 M telah menjadi “Konsensus Nasional”. Ada juga Teori lain yang muncul terkait dengan rambut pirang atau blonde dalam bahasa Inggrisnya dari orang-orang Netherland yang waktu itu menjajah indonesia. Kata blonde tersebut setelah disesuaikan dengan lidah pribumi menjadi Londo, lalu menjadi Belanda.

Wednesday, March 25, 2020

SNOUCK HURGRONJE


HAJI ABDUL GHAFFAR
(Christian Snouck Hurgronje)

Ketika Abdul Ghaffar tiba di Aceh, wilayah itu sedang dilanda perang selama belasan tahun. Sudah banyak korban berjatuhan, baik dari pihak Belanda maupun rakyat Aceh. Bagi orang Aceh, perang melawan orang Belanda itu adalah Perang Sabil. Mereka rela mengorbankan harta dan nyawa untuk perjuangan itu.
Dari sisi Belanda, kantong mereka sudah terkuras habis untuk perlawanan lokal terlama dalam sejarah kolonialisasi Belanda. Perang Aceh lebih lama ketimbang Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Abdul Ghaffar lah yang kelak bisa melihat kesalahan Belanda dalam peperangan Aceh tersebut.
Nasihat Abdul Ghaffar
Abdul Ghaffar punya banyak kenalan ulama dan sering kirim surat sejak ia ke Makkah. Ghaffar—sering juga disebut Gofur atau Gopur—tiba di Aceh pada 6 Juli 1891 setelah Teungku Chik di Tiro (1836-1891) meninggal.
Ketika itu, masjid Raya Aceh sudah lama dihanguskan militer Belanda. Itulah yang terus membuat semangat rakyat Aceh sedemikian membara untuk menumpas Belanda. Inilah kesalahan Belanda yang dilihat oleh Gopur. Ia pun mencoba mengingatkan kesalahan itu kepada pemerintah kolonial.
Gopur tak lama tinggal di sana. Ia tiba bulan Juni, dan meninggalkan Aceh pada Februari 1892. Dengan perawakan Eropanya dan kemampuan berbahasa Arabnya—plus dipandang oleh orang-orang bergelar haji karena sudah ke Mekkah pada usia 27—orang-orang Aceh itu mengira si Gopur adalah orang Arab. Setelah Februari 1892, kemungkinan besar Haji Gopur ke Betawi (Jakarta).
Ia pun pulang ke rumah Sangkana, wanita asal Cimahi yang dinikahinya sejak 1890, ketika belum lama tinggal di Hindia Belanda. Di sana, Gopur segera menulis pengalamannya di Aceh dan pemikirannya dalam tulisan berjudul De Atjeher , yang diterjemahkan sebagai
Rakyat Aceh .
Tak hanya itu, Gopur punya banyak tulisan soal Islam, yang berguna bagi pemerintah kolonial yang dilanda mabuk berat menghadapi rakyat Aceh.

Dari Abdul Ghaffar, pemerintah kolonial mendapat nasihat bagaimana harus menghadapi perlawanan keras orang-orang Aceh.
Sebenarnya, Gopur menyarankan agar militer KNIL Belanda bersikap baik untuk mengambil hati rakyat Aceh. Militer KNIL tak dibenarkan meneror rakyat, membakar kampung, dan merampas makanan rakyat Aceh.
Soal Islam, Gopur juga mengingatkan pemerintah kolonial dalam menghadapi Islam. Menurutnya, ada Islam sebagai agama yang tidak berbahaya, dan ada Islam sebagai kekuatan politik yang bisa berbahaya bagi pemerintah kolonial. Dan untuk soal terakhir, pemerintah tak perlu ragu-ragu untuk serius memberantasnya.
Selain meneliti soal Islam di Hindia Belanda, ia mengajar bahasa Arab di Betawi. Gopur dekat dengan pemerintah kolonial dan bangsawan di Priangan. Istrinya, Sangkana, adalah keturunan bangsawan.
Setelah Sangkana meninggal, Gopur menikah lagi dengan putri seorang penghulu di Jawa Barat juga. Sejak 1898, ia sudah menjadi penasihat urusan pribumi bagi pemerintah kolonial. Orang-orang tersebut, termasuk mertua-mertua yang merelakan anaknya dinikahi Gopur, agaknya sangat yakin jika laki-laki yang mirip orang Arab ini adalah Haji Abdul Gopur.

Siapa Abdul Ghaffar?
Orang yang mirip orang Arab yang kita maksud adalah Christian Snouck Hurgronje. Seperti banyak orang Islam, bagi Snouck yang agnostik, naik haji adalah salah satu hal penting dalam hidupnya.
Bedanya, ia pergi ke Makkah pada awal abad 20 demi kepentingan ilmiah karena ia akademisi. Sejak muda, ia penasaran pada Islam, sampai-sampai bahasa Arab dan Alquran pun ia pelajari.
Snouck terlahir sebagai anak pendeta Belanda. Sejak 1874, saat berusia 17 tahun, ia mulai belajar teologi di Universitas Leiden. Pada 1880, ia merampungkan Het Mekkaansche Feest (Perayaan Makkah ) meski belum pernah memasuki Kota Makkah. Makkah adalah kota tertutup bagi nonmuslim.
Begitu Het Mekkaansche Feest dirampungkan, Snouck jadi pengajar bagi mahasiswa sekolah pegawai yang akan dikirim ke Hindia Belanda sejak 1881. Kesempatan memasuki Makkah akhirnya datang pada 1885. Dengan penguasaan bahasa Arabnya, ia berhasil meyakinkan para ulama di Turki akan kesungguhannya belajar Islam. Ulama-ulama itu bahkan membimbingnya. Masuk Makkah tentu akan mudah asal beragama Islam. Menjadi Islam juga mudah, cukup berucap dua kalimat syahadat.
Akhirnya, menurut Hamid Algadri dalam Politik Belanda terhadap Islam dan keturunan Arab di Indonesia (1988), Snouck berhasil masuk Makkah dan terkesan bersungguh-sungguh seperti orang berhaji, hingga dianggap telah masuk Islam. Menurut Augustus Rally dalam Orang Kristen Naik Haji (2011), Snouck tinggal enam bulan di Makkah. Snouck bahkan ikut membuat foto-foto pemandangan musim haji di Makkah.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V , “Snouck Hurgronje tidak menaruh kepercayaan pada Islam sebagai kekuatan yang dapat membawa kemajuan.”
Menurut surat Snouck bertanggal 18 Februari 1886 kepada kawan kuliahnya, Carl Bezold, ia hanya berpura-pura saat mendalami Islam. Ia tak jauh beda dengan Wyn Sargent, yang rela menikahi istri Obahorok, kepala suku Dani, demi meneliti kehidupan suku Analaga. Kemampuan Snouck meneliti dengan menyamar sebagai muslim diakui matang oleh Vogel, peneliti Belanda lain.
“Banyak petualang yang menyamar dan beberapa orang berpengetahuan telah mengunjungi kota suci, tetapi Snouck Hurgronje, tiada keraguan, adalah yang terbaik. Ia hidup mengikuti cara hidup seorang muslim dengan nama Abdul Ghaffar,” tulis Vogel dalam Bukti-bukti Kebohongan Orientalis (1996).
Snouck Hurgronje alias Abdul Ghaffar meninggal pada 26 Juni 1936, tepat hari ini 83 tahun lalu. Ia dikenang sebagai orientalis-indolog yang sangat menguasai seluk-beluk Islam di Hindia Belanda.

Tuesday, March 24, 2020

SRI LANGKA


Sri Lanka tidak hanya diremehkan tetapi juga dinilai salah oleh orang. Berikut fakta tentang Sri Lanka:

Sri Lanka telah merdeka dari India. Bahkan selama British Raj Sri Lanka  dikelola sebagai Kolonial Inggris.
Tidak seperti negara tetangganya di Asia Selatan dan negara-negara dengan sejarah kuno lainnya, Sri Lanka memiliki sejarah unik yang telah tertulis selama 3000 tahun, hampir sama seperti Tiongkok yang memiliki cerita sejarah tertulis.
Nama "Sri Lanka" muncul dalam Sejarah Hindu kuno tentang Mahabharata dan Ramayana. Sri Lanka disebut Tabrobane oleh orang Yunani kuno dan Serendip oleh orang Arab kuno. nama "Sri Lanka" adalah satu-satunya nama kuno, yang diterima baik oleh orang Sri Lanka maupun dunia, untuk digunakan pada zaman modern di Asia Selatan. Berbeda dengan negara tetangga kami, India, Bangladesh, Pakistan yang memiliki nama yang “baru dibuat” atau nama serapan dari bahasa asing.
Sri Lanka adalah negara Buddhis tertua di dunia yang tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman. Penduduk Sri Lanka sepenuhnya memeluk Buddha pada 300 SM atau hanya dua ratus tahun setelah Parinirvana (kematian) Sang Buddha.
Rumah sakit pertama yang didedikasikan sepenuhnya untuk manusia dibangun di Sri Lanka. Penanggalan paling awal sejak abad ke-1 SM ada di Mihintale. Kota Anuradhapura sendiri memiliki 9 rumah sakit khusus.

Sri Lanka, sejak 600 SM adalah salah satu peradaban pertama yang memproduksi dan mengekspor baja.
“Di Sri Lanka, metode pembuatan baja pada awalnya menggunakan tungku perapian angin yang unik, digerakkan oleh angin musim. Situs produksi dari zaman kuno dapat ditemui, di tempat-tempat seperti Anuradhapura, Tissamaharama dan Samanalawewa, serta artefak impor besi dan baja kuno dari Kodumanal. Serikat dagang Tamil 200 SM di Tissamaharama, di wilayah tenggara Sri Lanka, membawa serta beberapa artefak besi dan baja tertua dan proses produksi ke pulau itu dari periode klasik. "

Sri Lanka bertanggung jawab atas penulisan seluruh Tipitaka, kitab suci agama Buddha, pada abad ke-1 SM. Sri Lanka juga menulis seluruh literatur Buddhis di Pali sehingga menciptakan Kanon Pali.

Agama Buddha Sri Lanka memainkan peran utama dalam mengubah peradaban di Asia Tenggara, dan karenanya, Sri Lanka adalah sentral peradaban Agama Buddha.

Peradaban kuno Sri Lanka digolongkan sebagai peradaban Hidraulik yang sangat maju yang prestasinya menyaingi dan mengungguli Mesir kuno.
Gunung Adam's Peak, juga dikenal sebagai gunung Sri Pada, adalah tempat suci bagi orang Kristen, Buddha, Hindu, dan Muslim. Sang Boddhisatva Samantabhadra berevolusi dari gunung suci ini:
Para bangsa Portugis menyebutnya Pico de Adam dan bangsa Inggris menyebutnya Adam's Peak. Dalam Syair Mahawamsa, yang ditulis pada abad ke-5 M, gunung Adam’s Peak disebut sebagai Samantakuta (Tempat Tinggal Samanta) sementara suku Sinhala modern menyebutnya Samanelakhanda (Gunung Saman). Jauh sebelum agama Buddha datang ke Sri Lanka sekitar 246 SM, Sri Pada dihormati sebagai tempat tinggal dewa bernama Samanta, atau Saman atau Sumana. Dewa gunung ini ditakdirkan untuk melanjutkan ke hal yang lebih besar. Umat ​​Buddha Theravada di Sri Lanka kemudian menjadikan Samanta penjaga tanah dan agama mereka. Dengan munculnya Buddhisme Mahayana, sebuah gerakan yang dimulai di India selatan, Samanta berkembang menjadi Samantabhadra, salah satu dari empat bodhisattva utama Mahayana. Seperti manifestasinya kemudian, Samanta biasanya digambarkan dimahkotai dan berhiaskan berlian, memegang lotus di tangan kanannya dan ditemani oleh gajah putih. — Buddhism's Most Sacred Mountain, Sri Lanka

Saturday, March 21, 2020

SURAT SERAMBI MEKAH


Salah satu pragmen saat kaum Muslimin masih memiliki junnah (pelindung dan pengayom). Meski khilafah Islam dalam kondisi kritis, khalifah tetap saja berupaya keras melindungi umat padahal lokasinya di Aceh, lokasi yang sangat jauh dari ibu kota.

http://bit.ly/surat_serambi_mekah 
http://bit.ly/surat_serambi_mekah 
http://bit.ly/surat_serambi_mekah
+++
SURAT DARI SERAMBI MEKAH MEMBUAT KHALIFAH MARAH
.
.
Sultan Abdul Hamid II naik pitam. Ia langsung berdiri dari kursinya lalu menggebrak meja begitu mendengar bahwa kaum Muslimin Aceh dilarang berangkat naik haji oleh Kerajaan Kristen Belanda. Sultan pun berpikir keras bagaimana mengatasinya karena di masanya inilah, Khilafah Utsmani menghadapi tantangan terberat.
.
Konspirasi dari kerajaan-kerajaan Kristen Eropa seperti Inggris, Perancis, Italia, Prusia, Rusia, yang menghendaki hancurnya eksistensi Khilafah semakin menguat. Bibit-bibit separatisme yang dihembuskan negara-negara Barat melalui ide nasionalisme juga mulai tumbuh subur dan tentu sangat menyita energi yang cukup besar. Meski sangat jauh dari ibu kota, Aceh pun tetap wajib diperhatikan.
.
Sultan berjalan mendekati lelaki yang berdiri menunduk di depannya usai membacakan surat dari Aceh, lalu berkata, “Bagaimana kita bisa menjadi layak untuk makam (gelar khalifah) ini wahai Pasha (Jenderal)…”
.
“Anda layak mendapatkan makam ini wahai Sultanku…” jawab pembaca surat yang dipanggil Pasha tersebut.
.
Tapi Sultan menyanggah dengan menyatakan: “Satu peristiwa, mereka yang berlindung kepada kekuatan Anda tanahnya dijajah. Walaupun kita bekerja siang malam untuk bisa layak mendapatkan makam ini, tetap saja kita tidak bisa memenuhi haknya. Ketika Muslim di Aceh berada di kondisi seperti ini, ketika mereka menyerang agama kita...”
.
Mereka pun juga tahu, lanjut Sultan, bahwa pada haji, orang-orang Islam menjadi satu, saling memperkuat hubungannya satu sama lain, satu sama lain saling memberi kabar, menjadi sebuah persatuan. Dan oleh sebab itu pula Belanda tidak mengizinkan orang Aceh untuk pergi haji.
.
Sembari menuruni tangga menuju ruangan yang lebih besar lagi, Pasha menceritakan bahwa Belanda tidak hanya menghalangi warga Aceh untuk pergi haji tetapi melarang pula para khatib membaca khutbah dengan menyebut Khilafah Utsmaniyyah serta mencopot panji-panjinya.
.
“Tetapi warga Aceh sudah bersumpah akan tetap berkomitmen bersama Khilafah Utsmani, mereka bilang tidak pernah mendengarkan larangan-larangan Belanda tersebut,” ujar Pasha.
.
Sultan lalu menyibak tirai merah yang menutupi peta dunia yang menempel di dinding ruangan tersebut. Kemudian tongkatnya ditunjuk-tunjukkan ke peta ujung utara Pulau Sumatera seraya berkata:
.
“Di tengah-tengah samudera yang sangat besar, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bangsa yang membaiat kita sebagai khalifah. Selagi kekuatan kita cukup, kita harus selalu berada di samping mereka. Tetapi yang dipahami kekuatan kita tidaklah cukup...”
.
“Sultanku, untuk sekarang masalah terbesarnya adalah tidak bisa naik haji,” sanggah Pasha.
.
“Itu dia masalahnya…” jawab Sultan.
.
Lalu Sultan pun mengingatkan pentingnya membuat proyek _Demiryolu_ (jalur kereta api haji). _“Demiryolu_ dari Istambul (ibu kota Khilafah Utsmani) ke Hijaz, dari sana ke Baghdad, dan akan menyambung ke India dan dari sana juga dengan kapal ke Aceh,” ujarnya.
.
Tapi masalahnya proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar dan memakan waktu lama sedangkan ibadah haji harus dilakukan segera. Untung saja, Sultan teringat dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Willem ke-6 (raja pertama Belanda) sebenarnya tidak sah menjadi Raja Belanda lantaran dia hanyalah anak pungut yang diambil Napoleon Bonaparte dari panti asuhan. Padalah adat yang berlaku seluruh raja-raja di kerajaan di Eropa merupakan satu keturunan.
.
Dubes Belanda pun dipanggil menghadap Sultan. “Tidak mungkin terjadi!.. Tidak mungkin!..” ujar Duta Besar Belanda membaca dokumen tersebut dengan tangan gemetar seolah tak percaya.
.
Sultan lalu menekan Belanda akan membocorkan dokumen tersebut sehingga raja-raja Eropa lainnya murka bila tetap menghalangi Muslim Aceh pergi haji. Bukan hanya itu, Sultan pun berhasil menekan Belanda agar menjamin Muslim Aceh selamat dalam ibadah haji dengan membuat perusahaan _travel_ kapal laut dengan harga yang murah.
.
“Mengerti?!” Bentak Sultan kepada duta besar Belanda.
.
“Saya mengerti setiap perkataan Anda Sultanku…” ujar duta besar Belanda.
.
Itulah salah satu pragmen kepemimpinan Sultan Abdul Hamid dalam mengurusi urusan umat yang diangkat dalam episode ke-15 sinetron sejarah berbahasa Turki _Payitaht Abdülhamid._ Sedangkan sinetron tersebut dibuat berdasarkan buku harian Sultan Abdul Hamid II.
.
Salah satu pragmen saat kaum Muslimin masih memiliki _junnah_ (pelindung dan pengayom). Meski khilafah Islam dalam kondisi kritis, khalifah tetap saja berupaya keras melindungi umat meski lokasinya di Aceh, lokasi yang sangat jauh dari ibu kota.
.
Proyek Kereta Api

Pembangunan jalur kereta api dibagi beberapa termin. Termin pertama dimulai dari Damaskus sampai Mekah. Keuangan negara memang tengah kritis, namun Sultan tidak mau meminjam uang sebagaimana khalifah sebelumnya kepada Jerman. Maka Sultan pun memerintahkan segenap kaum Muslimin saja untuk berpartisipasi dalam pembangunan suci ini.
.
Sultan memulai pendaftaran para penyumbang kaum Muslimin dengan dimulai oleh dirinya sendiri yang memberikan 50.000 keping uang emas Utsmani. Kemudian dibayar juga uang sebanyak 100.000 keping emas Utsmani dari kas negara. Kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia juga turut berlomba-lomba dalam membantu pembangunan rel kereta api Hijaz baik dengan harta maupun jiwa.
.
Pada 1907 M, proyek pembangunan rel kereta api Hijaz ini dikerjakan oleh sekitar 7.500 pekerja yang hampir kesemua pekerja itu adalah kaum Muslimin. Sultan sangat meminimalisasi peran pekerja asing seperti arsitek dan pekerja lainnya dalam proyek ini. Sultan memaksimalkan tenaga para kaum Muslimin. Dengan menghabiskan total biaya yang sangat besar, sekitar 4.283.000 lira Utsmani, pada Agustus 1908 M rel kereta api Hijaz ini telah sampai ke Madinah al-Munawwarah.
.
Rencana pembangunan ini juga melanjutkan ke Mekah dan pelabuhan Jeddah namun ditentang keras oleh Gubernur Mekah Syarif Hussein karena kuatir akan semakin memperkuat kontrol khalifah terhadap Hijaz. Rupanya bibit-bibit sparatisme berhasil disemai Kerajaan Kristen Inggris di benak Syarif Hussein ---yang kelak pada 1916 berhasil bughat dan mendirikan Kerajaan Hijaz.
.
Pada 1 September 1908 jalur ini selesai dibangun dan mulai dioperasikan. Pada 1912 telah mencapai 30.000 penumpang per tahun. Perjalanan haji semakin mudah serta menumbuhkan bisnis dan perdagangan di kawasan itu. Tercatat pada 1914 telah mencapai 300.000 penumpang. Selain para jamaah haji, angkatan bersenjata Utsmaniyah memanfaatkannya untuk mengirimkan suplai pasukan dan barang.
.
Sebelum dibangun jalur kereta api sepanjang 814 kilometer dari Damaskus ke Madinah, biaya perjalanan haji cukup mahal. Dengan menyewa unta dan perlengkapannya menghabiskan biaya 3.50 pound per empat hari sedangkan perjalanan lima hingga delapan pekan. Sementara perjalanan dengan kereta api jauh lebih murah dan hanya menghabiskan waktu tiga hari saja.
.
Dikudeta

Sultan lahir pada hari Rabu, 21 September 1842. Dengan nama lengkap Abdul Hamid Khan II bin Abdul Majid Khan. Ia adalah putra Abdul Majid dari istri keduanya. Ibunya meninggal saat ia berusia 7 tahun.
.
Sultan menguasai bahasa Turki, Arab, dan Persia. Senang membaca dan bersyair. Pada 41 Agustus 1876 (1293 H), Sultan Abdul Hamid dibaiat sebagai khalifah di tengah-tengah merosotnya pemahaman kaum Muslim akan pemahaman Islam yang benar.
.
Sehingga tidak sedikit yang terkecoh dan bersekutu dengan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa. Sehingga alih-alih membela Sultan, mereka malah bekerja sama dengan Inggris dan sekutunya untuk menggulingkan Sultan.
.
Malam itu, 27 April 1909 Sultan Abdul Hamid dan keluarganya kedatangan beberapa orang tamu tak diundang. Kedatangan mereka ke Istana Yildiz menjadi catatan sejarah yang tidak akan pernah terlupakan.
.
Mereka mengatasnamakan perwakilan 240 anggota Parlemen Utsmaniyyah, di bawah tekanan Turki Muda, yang setuju penggulingan Abdul Hamid II dari kekuasaannya. Senator Syeikh Hamdi Afandi Mali mengeluarkan fatwa tentang penggulingan tersebut, dan akhirnya disetujui oleh anggota senat yang lain.
.
Fatwa tersebut terlihat sangat aneh dan setiap orang pasti mengetahui rekam jejak perjuangan Abdul Hamid II bahwa fatwa tersebut bertentangan dengan realitas di lapangan.
.
Keempat utusan itu adalah Emmanuel Carasso, seorang Yahudi warga Italia dan wakil rakyat Salonika (Thessaloniki) di Parlemen Utsmaniyyah (Meclis-i Mebusan) melangkah masuk ke Istana Yildiz.
.
Turut bersamanya adalah Aram Efendi, wakil rakyat Armenia, Laz Arif Hikmet Pasha, anggota Dewan Senat yang juga panglima militer Utsmaniyyah, serta Arnavut Esat Toptani, wakil rakyat daerah Daraj di Meclis-i Mebusan.
.
Mereka mengkudeta Sultan. “Negara telah memecat Anda!” Esat Pasha memberitahu kedatangannya dengan nada angkuh. Kemudian satu per satu wajah anggota rombongan itu diperhatikan dengan seksama oleh Sultan.
.
“Negara telah memecatku, itu tidak masalah, tapi kenapa kalian membawa serta Yahudi ini masuk ke tempatku?” Spontan Sultan marah besar sambil menundingkan jarinya kepada Emmanuel Carasso.
.
Sultan memang kenal benar siapa Emmanuel Carasso itu. Dialah yang bersekongkol bersama Herzl ketika ingin mendapatkan izin menempatkan Yahudi di Palestina.
.
Singkat kata, Sultan pun diasingkan ke Salonika, Yunani. Hingga ia menghembuskan nafas terakhir dalam penjara Beylerbeyi pada 10 Februari 1918.
.
Sejak dikudeta, tidak ada lagi yang meneruskan proyek kereta api tersebut. Bahkan parahnya pada 1924 khilafah Islam pun dibubarkan sang pengkhianat Mustafa Kemal Pasha laknatullah. Sepeninggal pemimpin umat yang dikhianati itu, lahirlah lebih dari 50 puluh negara bangsa dan Aceh beserta puluhan kesultanan Islam lainnya di Nusantara menjadi bagian dari negara bangsa Republik Indonesia.[]
.

___
_Surat dari Serambi Mekah Membuat Khalifah Marah merupakan salah satu dari sepuluh kisah yang dimuat buku digital  SURAT DARI SERAMBI MEKAH MEMBUAT KHALIFAH MARAH (10 Kisah Sejarah yang Tidak Ada di Buku Sekolah/Madrasah)
.
Silakan unduh buku digitalnya pada tautan di atas.

Tuesday, February 4, 2020

PANGERAN ANTASARI


PANGERAN ANTASARI
(Panembahan Amirud-dien Chalifatul Mukminin)

Beliau adalah Sultan Banjar (dimasa Pemerintahan Darurat) Pada 14 Maret 1862, Baginda dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan dan pemuka Agama tertinggi di Kesultanan Banjar dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Chalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas , Kapuas dan Kahayan yaitu Temenggong Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Gusti Inu Kartapati atau
Pangeran Antasari merupakan cucu kepada Pangeran Ameer (Amir) .
Semasa muda nama Pangeran Antasari adalah Gusti Inu Kartapati .
Ibunda Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman .
Ayah Pangeran Antasari adalah
Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Ameer . Pangeran Ameer adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata Dilaga, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II  Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri.  Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang lebih dikenal dengan nama Ratu Sultan Abdul Rahman karena menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman Ibni Al-Marhum Sultan Adam Al-Watsyiqu Billah tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.

Pewaris Takhta Kerajaan Banjar
Baginda adalah  cucu kepada Pangeran Ameer yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku Dayak Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.
Setelah Sultan Hidayatullah II  ditipu Belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.[17] Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah di wilayah Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862 , bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:

“ Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”
Seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi " Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Monday, February 3, 2020

FAKTOR KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM


FAKTOR KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.

Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut adalah sbb:

Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.

Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.” Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.

Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.

Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.

Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:

Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.

Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.

Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:

…..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang, …. jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.

Lebih lanjut ia menyatakan:

Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.

Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4) orientasi kemewahan masyarakat 5) Egoisme 6) Opportunisme 7) Penarikan pajak secara berlebihan 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat 9) Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan 10) Penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.

Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.

Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.

WALIYULLOH KARAWANG SYEKH QURO


"WALIYULLOH KARAWANG"

Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain atau Syeh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama. Dia adalah putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Jika di tarik dan di lihat dari silsilah keturunan, Syech Hasanudin atau Syekh Quro masih ada garis keturunan dari Sayidina Husein Bin Saiyidina Ali r.a. menantu dari Nabi Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana ( Ibunya Syech Hasanudin atau Syekh Quro ). Selain itu Syech Hasanudin atau Syekh Quro juga masih suadara seketurunan dengan Syech Nurjati Cirebon dari generasi ke – 4 Amir Abdullah Khanudin.

Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Syech Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syech Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syech Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.

Maksud dan tujuan kedatangan Syech Hasanudin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syech Hasanudin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syech Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syech Hasanudin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syech Hasanudin ini oleh Prabu Angga Larang di tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syech Hasanudin dan mengusir Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah dari Tanah Cirebon.

Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “ Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam.

Ketika itu juga Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah ke Malaka.

Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.

Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.

Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang Saketi Jejer Seratus”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.

Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung Karawang sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.

Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3 orang putra yang bernama :

1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi ).

2. Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi ).

3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang ( Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi ).

Ketika anak – anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa telah menginjak usia dewasa dan telah mendapat bimbingan dari Waliyullah Syech Quro, maka ketiga anak – anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa itu ditugaskan oleh Syech Quro untuk lebih memperdalam lagi ajaran Agama Islam ke Pelabuhan Cirebon untuk berguru kepada Syech Nurjati Cirebon.

Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syech Nurjati Cirebon, maka ketiga anak – anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa diberitugas oleh Syech Nurjati Cirebon, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan Raden Walasungsang yang bernama Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan Kabupaten Garut, sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk mendapatkan bimbingan.

Ketika setelah mendapatkan bimbingan dari Syech Ibrahim, maka Raden Walasungsang dan Nyi Mas Rara Santang ditugaskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syech Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.  Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, maka kakanya Nyi Mas Rara Santang yang bernama Raden Walasungsang dipersunting oleh Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang ketika di Mekah dipersu nting oleh Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang ketika di Mekah dipersunting oleh raja Mesir yang bernama Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah.

Kemudian setelah berhaji, Raden Walasungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu pulang ke negeri Caruban atau Cirebon, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang di bawa oleh suaminya ke negeri Mesir.

Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah namanya diganti menjadi Syarifah Muda’im. Hasil dari pernikahan antara Nyi Mas Rara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, dikaruniai 2 orang anak yakni :

1.  Syarif Hidayatullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1372 Saka atau tahun 1450 Masehi ).

2.  Syarif Nurullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1375 Saka atau tahun 1453 Masehi ).

Waktu terus berganti, setelah Syarif Abdullah ayahnya Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah meninggal dunia, maka jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan Syarif Hidayatullah dan ibundanya yang bernama Nyi Mas Rara Santang meneruskan menimba ilmu agama Islam dari ulama Mekah dan Bagdad. Setelah cukup menimba ilmu Agama Islam, tepatnya pada tahun 1397 Saka atau tahun 1475 Masehi Syarif Hidayatullah bersama ibundanya pulang ke Negeri Caruban atau Cirebon bermaksud untuk menyebarkan Agama Islam dan bertemu kepada Eyang dan Uwaknya Syarif Hidayatullah yakni kepada Ki Gedeng Tapa ( Eyang Syarif Hidayatullah ) dan Raden Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Uwak Syarif Hidayatullah ).

Sesampainya di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, mereka disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa yang merupakan Eyangnya Syarif Hidayatullah dan Raden Walasungsang yang merupakan Uwaknya Syarif Hidayatullah, pada waktu itu Raden Walasungsang menjadi Penguasa Cirebon yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di Cirebon Syarif Hidayatullah mendapatkan bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng Tapa dan Raden Walasungsang untuk menjadi Santri Baru guna menimba lebih dalam lagi ilmu dan memperdalam Agama Islam ke Paguron Gunung Jati di Pasambangan Jati yang dipimpin oleh Syech Nurjati Cirebon.

Waktu terus bergulir setelah memperdalam Agama Islam di Paguron Gunung Jati Syech Nurjati Cirebon, Syarif Hidayatullah menerima wejangan – wejangan yang berharga dari Syekh Nurjati yakni : ”Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya itu.

Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha.

Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk dari dia untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk dia, karena pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syech Quro di Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit. Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada dia terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda.

Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni syare’at, hakikat, tarekat, dan ma’rifat, serta wujudkanlah atau bentuklah masyarakat yang Islamiyah”.

Waktu terus berganti, ketika Syech Nurjati meninggal dunia maka pemimpin Paguron Gunung Jati dip impin oleh anak bungsunya Syech Nurjati Cirebon yang bernama Syekh Datuk Khafid.

Hari berganti hari tahun berganti tahun, usia Syekh Datuk Khafid sudah sangat uzur, maka kedudukan atau pimpinan Paguron Gunung Jati digantikan atau di pimpin oleh Syarif Hidayatullah. Ketika menggantikan kedudukan pimpinan Paguron Gunung Jati sebagai guru dan da’i di Amparan Jati Syarif Hidayatullah diberi julukan Syekh Maulana Jati atau disingkat Syekh Jati.

Paguron Gunung Jati yang di pimpin oleh Syarif Hidayatullah ternyata berkembang pesat, banyak santri – santri di luar Cirebon untuk bersantri atau berguru di Paguron Gunung Jati. Perkembangan ini terus berlanjut tatkala Syarif Hidayatullah menggantikan uwaknya yakni Raden Walasungsang yang usianya sudah sangat uzur untuk memimpin Kerajaan Cirebon.

Ketika memimpin Kerajaan Cirebon Syarif Hidayatullah diberi gelar Susuhunan atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah setelah memimpin Kerajaan atau Kesultanan Cirebon, ia menikah dengan Nyai Kawunganten adik dari Bupati Banten. Dari pernikahan antara Syarif Hidayatullah dengan Nyai Kawunganten, dikaruniai 2 orang putra, yaitu :

1. Ratu Wulung Ayu.

2. Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Pada tahun tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi atau semasa dengan Wali Songo Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, membangun sebuah Masjid yang bernama Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun atas kerja sama antara Sunan Gunung Jati dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini diambil dari kata " Sang " yang bermakna keagungan, " Cipta " yang berarti dibangun, dan " Rasa " yang berarti digunakan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan. Masjid ini terdiri dari dua ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama, terdapat sembilan pintu, yang melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak, Majapahit, dan Cirebon.

Sunday, February 2, 2020

SYEKH SUNAN ROHMAT SUCI GODOG (RADEN KIAN SANTANG)


SYEKH SUNAN ROHMAT SUCI GODOG ( RADEN KIAN SANTANG )

Prabu Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian dia membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok daerah, dibantu oleh saudagar arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya.

Sekarang lokasi istana itu disebut
Kebun Raya Bogor. Pada tahun 1372 Masehi Prabu Kiansantang
menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuwan dan dia sendiri yang mengkhitanan orang yang masuk agama Islam.

Tahun 1400 Masehi, Prabu Kiansantang diangkat menjadi
Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu
Anapakem I. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi.

Dalam uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'ripatan.

Kepada beliau dimintakan untuk
memilih tempat tafakur dari ke 3
tempat yaitu Gunung Ceremai,
Gunung Tasikmalaya, atau Gunung
Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat.

Sebelum uzlah Prabu Kiansantang
menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran.

Yang dituju pertama kali adalah
gunung Ceremai. Tiba disana lalu peti disimpan diatas tanah, namun peti itu tidak godeg alias berubah.

Prabu Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah.

Akhirnya Prabu Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut peti itu disimpan diatas tanah secara tiba-tiba berubah/ godeg.

Dengan godegnya peti tersebut, itu
berarti petunjuk kepada Prabu
Kiansantang bahwa ditempat itulah, beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Tempat itu kini diberi nama Makam Godog. Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km.

Prabu Kiansantang namanya
diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat.

Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat ditempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.

Sumber : FP Raden Ki An San Tang (Gagak Lumayung).