Saturday, April 4, 2020

MENGENAL KETURUNAN ACEH


MENGENAL KETURUNAN ACEH

KETURUNAN atau sukee dalam bahasa Acheh dikenal sejak zaman Kebawah DYMM Paduka Baginda Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah yang diperkirakan pada tahun 1537 Masehi. Sultan Ala’uddin juga dikenal dengan nama dan sebutan lain, yakni Al-Kahhar atau Al-Kahhas setelah mangkat menjadi sultan.

Terdapat empat kaum atau dalam bahasa Acheh disebut kawom, untuk mengenal hal tersebut masyarakat sering mengingatnya dengan lantunan baik itu melalui syair dan sajak yakni sebagai berikut:
Sukee Lhee Reutoh
ban aneuk drang;
Sukee Ja Sandang
jra haleuba;
Sukee Ja Batee
na bacut-bacut;
Sukee Imum Peuet
nyang gok-gok donya;

Bila diartikan menjadi “Kaum Tiga Ratus sebagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh setelah musin memotong padi; segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang dengan subur. Kaum Ja Sandang sebagai jeura haleba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini digunakan untuk campuran menghilangkan bau hanyir. Biji tersebut lebih besar sedikit dari biji drang. Kaum Ja Batee atau disebut Tok Batee bacut-bacut, yakni hanya sedikit. Kaum Imum Peuet, mereka yang mengguncang dunia maksudnya berpengaruh besar dan berperanan penting dalam pemerintahan.”

Syair yang sering dikenal dalam masyarakat tersebut, kini juga populer dinyanyikan oleh seniman asal Acheh, Rafly dalam albumnya Surga Firdaus dengan judul Sukee 300. Jadi, secara tidak langsung banyak juga orang Aceh yang lupa dengan keberadaan kawom dan suku yang berada di Acheh. Sehingga tidak mengherankan, jika sekarang orang akan bertanya-tanya dengan sukee, bahasa apa itu serta apa maksudnya.

Asal muasal sebutan Lhee Reutoh atau “Tiga Ratus”, menurut cerita suatu ketika terjadi sengketa hebat antara golongan rakyat asli sekitar tiga ratus orang, dengan golongan pendatang Hindu sekitar empat ratus. Persengketaan hampir saja disusul dengan bentrok senjata antara dua golongan tersebut yang dipicu oleh kasus perzinahan. Namun, ditengah kecamuk tersebut, hadirlah penengah untuk memberikan jalan keluar dari persengketaan yang berlangsung.

Mereka yang bersalah akhirnya menerima keputusan, sehingga kesalahan mereka dimaafkan dan kedua pihak kemudian mengikat silaturrahmi dengan akrab. Cerita ini memang tidak terjamin kebenarannya, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa sebutan lhee reutoh dimaksudkan 300 keluarga atau 300 pria yang sanggup berperang, bahwa yang dimaksud disini adalah persekutuan (konfederasi) zaman dulu dan pasti terjadi dalam masa kesukaran atau perjuangan bersama.

Ja Sandang atau Tok Sandang. ja atau to yang berarti nenek moyang, kedua nama tersebut juga disebut Eumpee (dalam bahasa Melayu: empu). Sedangkan Cut berarti kecil, dipakai untuk awal nama pria atau wanita terkemuka. Sandang yang sebenarnya berarti membawa sesuatu di bawah lengan yang diikat pada tali yang melingkar bahu, nama ini masih melekat pada seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek yang sekarang disebut Teuku Sandang.

Selain ada cerita turun temurun di kawasang Mukim XXII, wilayah suku pribumi Manteue atau sering disebut sekarang daerah Lampanah yang menceritakan bahwa ketika Sulatan Al-Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan, maka melewati Mukim XXII Lampanah dan mengalami kehausan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan orang penyandang nira (ie jok). Orang tersebut menawarkan air niranya kepada Sultan dan menyambutnya dengan begitu rasa lega terutama setelah selesai memimunnya.

Sultan pun berterima kasih dan mengundang orang tersebut ke Dalam (sebutan Istana, -pen) di Banda Aceh untuk memberikan dia penghargaan sebagai tanda balas jasa atas kebaikan yang diberikannya kepada Sultan. Namun, orang tersebut pun bertanya, bagaimana bisa dia masuk ke Dalam dan dikenal oleh para pengawal istana. Sultan pun memberi petunjuk kepada orang tersebut dengan menyandang bambu (pajok) nira serta memberikan tanda sehelai daun kelapa di kepalanya. Akhir cerita setiap kali Ja Sandang pergi ke Istana, lambat laun diangkat oleh Sultan menjadi Qadhi dengan gelar Maliku’l Adil (Malikon Ade) karena dipercaya sebagai orang baik.

Ja Batee atau Tok Batee, menurut cerita ketika Sultan Al-Kahhar merencanakan pembangunann sebuah istana batu, maka dikeluarkan perintah supaya golongan pendatang dari luar daerah ini bergotong royong untuk mencari dan membawa batu-batu untuk pembangunan istana. Tiba-tiba pada suatu hari golongan ini saat mengumpulkan batu, Sultan memberikan seruan bahwa pencarian batu bisa dihentikan dan sudah cukup (tok batee). Sejak itulah golongan tersebut dinamakan kaum Tok Batee.

Sedangkan kawom terakhir yang dikenal dengan Imum Peueut (Empat Imam) disebabkan karena mereka menempati empat mukim, yaitu Tanoh Abe, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap mukim yang didiami dikepalai oleh seorang imam masing-masing dan kesemuanya ada empat imam sehingga menjadi Imum Peueut.

Memang jika dilihat lebih telisik, Imum Peueut menunjukkan persekutuan berbeda dibandingkan tiga sukee (Lhee Reutoh, Ja Sandang dan Ja Batee). Perlu diketahui bahwa jabatan Imum sama sekali terpisah dari kawom. Imum ini bertugas sebagai pemimpin dalam hal ibadah dan tidak memperoleh pangkat apa pun di dalam masyarakat.

Selain itu juga ada Imum yang menjadi kepala daerah (mukim), jabatan yang dimaksud adalah penguasa yang membentuknya tentu ada hubungan dengan agama.

Begitulah sederatan kisah Sukee atau keturunan dalam masyarakat Aceh, yang sampai saat ini cukup banyak mengalami kehilangan identitas diri dalam masyarakat Aceh sendiri, hadirnya sukee dalam masyarakat Aceh terjadi sama sekali tidak membuat perbedaan yang sangat berarti, melainkan sebagai media penyatu umat yang dinilai oleh bangsa luar sebagai bentuk susunan kesempurnaan keturunan yang lengkap sekali.

Referensi:

“Acheh Sepanjang Abad” Jilid I, H. Mohammad Said, Harian WASPADA Medan, 2007.

“De Atjehers” Jilid I, Dr. C. Snouck Hurgronje, E.J. Brill, Leiden, 1893.

KAMPUNG DALAM PAGAR DAN KAMPUNG TUNGGUL IRANG ADALAH DUA KAMPUNG DI MARTAPURA YANG TIDAK PERNAH DIJAMAH SERDADU JEPANG


KAMPUNG DALAM PAGAR DAN KAMPUNG TUNGGUL IRANG  ADALAH DUA KAMPUNG DI MARTAPURA YG TIDAK PERNAH DI JAMAH SERDADU JEPANG

Selama penjajahan -terutama masa masuknya tentara Jepang di Kalimantan Selatan-, dua kampung dikabarkan tidak bisa dimasuki tentara Jepang. Konon, dua orang ulama karismatik di kampung tersebut-lah penyebabnya.
Dua kampung yang dimaksud terdapat di wilayah Martapura. Yakni, Kampung Dalam Pagar dan Kampung Tunggul Irang. Di dua kampung tersebut ada dua ulama kenamaan. Di dalam Pagar ada Guru Acil Lamak, sementara di Kampung Tunggul Irang ada Tuan Guru Haji Abdurrahman atau Tunji Adu
"Tunji "dalam masyarakat martapura maknanya : Tuan Haji

Sebagaimana diceritakan Tuan Guru Haji Syaifuddin Zuhri, para tentara Jepang bisa memasuki Kampung Dalam Pagar berkat keberadaan Guru Acil Lamak.
Disebutkan oleh Tuan Guru Syaifuddin Zuhri, ada-ada saja masalah yang mereka alami ketika ingin memasuki kampung tersebut. Di antaranya, mereka tidak bisa menemukan kampung itu, karena hanya melihat hutan seperti tak berpenghuni.
Pernah suatu ketika dahulu tentara Jepang  hendak menyeberang (masuk) ke Kampung Dalam Pagar. Dari seberang sungai, Guru Acil Lamak duduk menatap mereka. Beliau pun mengambil Nyiru, kemudian menaruh kacang kedelai di atasnya.
Kacang-kacang tersebut kemudian “diadu” oleh beliau, seperti memainkan dua boneka kecil. Ajaibnya, tentara jepang yang hendak masuk ke Kampung Dalam Pagar tersebut malah berkelahi sesama sendiri , serdadu jepang vs serdadu jepang

Tuan Guru Acil Lamak ini adalah Guru daripada Tuan Guru Haji Zainal Ilmi,” jelas Tuan Guru Syaifuddin Zuhri,
Hal yang serupa terjadi ketika Serdadu Jepang hendak masuk ke Kampung Tunggul Irang. Namun ada saja yang membuat mereka tak bisa memasuki kampung tersebut. Satu di antaranya disebutkan dalam buku “Figur Kharismatik Tuan Guru Sekumpul”, yakni perahu mereka kandas dan tenggelam di sungai.
Dengan keberadaan dua ulama inilah, dua kampung tersebut dinilai paling aman di masa penjajahan Jepang.

Friday, April 3, 2020

ASAL MULA NAMA BELANDA


ASAL MULA NAMA BELANDA

Ada pertanyaan yang buat orang Belanda sendiri bingung. Ya orang Belanda akan bingung bila di tanya “asal kata Belanda itu dari mana?” Mengapa orang indonesia menyebut Negara Netherland dengan sebutan Belanda..? Padahal,bisa jadi orang Netherland kalau ditanya tentang Belanda juga bingung untuk menjawabnya. Orang Netherland di dunia Internasional dikenal dengan sebutan Dutch. Nama Dutch ini merujuk pada sebuah bahasa Jermanik Barat yang dituturkan oleh 20 juta jiwa diseluruh dunia. Namun beda dengan masyarakat indonesia yang menyebut orang-orang Netherland dengan sebutan Belanda, malah sebelumnya dengan sebutan Kompeni.

Kata Kompeni ini awalnya berasal dari orang-orang Jawa. Kata Kompeni sendiri berasal dari kata “Compagnie atau Company (perusahaan)” yang saat itu dikenal adalah “Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC”.Perusahaan Charter yang didirikan pada tahun 1602. Masyarakat pribumi dari orang-orang jawa biasa menyebut kompeni karena susah dan mungkin agak ribet bagi lidah untuk mengucapkan kata Compagnie maka terbiasalah dengan kata Kompeni. Sementara itu sebutan Belanda sendiri memiliki sejarah untuk rakyat indonesia. Banyak Versi yang menyebutkan awal mula kata Belanda. Ada yang berasal dari kata Holland. Karna Holland pada abad ke-17 adalah wilayah yang sangat populer dan sangat berkembang di negara Netherland.

Kemudian ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa kepopuleran istilah Belanda di indonesia diawali peristiwa Mudzakarah Ulama se-rumpun Melayu. Ketika itu diadakan tidak jauh dari kota Palembang, tepatnya disekitar daerah Pagar Alam, pada tahun 1650 M (1072 H). Ulama yang berkumpul sekitar 50 orang dari berbagai daerah, seperti dari kerajaan Mataram Islam, Pagaruyung, Malaka dan sebagainya. Tokoh utama pertemuan itu adalah Syeck Nurqodim al Baharudin (Puyang Awak), salah seorang cucu dari Sunan Gunung Jati. Dari peristiwa Mudzakarah inilah munculnya istilah Belanda sebagai sebutan bagi bangsa Netherland, yang menjadi penjajah ketika itu. Adapun makna kata Belanda, berasal dari kata “Belahnde (belah=memecah, nde=keluarga).”

Dan dengan menyebarnya, istilah Belanda ke seluruh pelosok Nusantara, menjadikan bukti bahwa hasil Mudzakarah tahun 1650 M telah menjadi “Konsensus Nasional”. Ada juga Teori lain yang muncul terkait dengan rambut pirang atau blonde dalam bahasa Inggrisnya dari orang-orang Netherland yang waktu itu menjajah indonesia. Kata blonde tersebut setelah disesuaikan dengan lidah pribumi menjadi Londo, lalu menjadi Belanda.