Thursday, December 5, 2019

B.M. DIAH DAN E.F.E. DOUWES DEKKER


B.M. dan E.F.E

Institut Ksatrian baru saja membuka sekolah kejuruan baru, Middelbare Journalisten School, Sekolah menengah Jurnalistik. Kesanalah Burhanudin mendaftar supaya kelak bisa bekerja sebagai seorang jurnalis.
Ada 19 mata pelajaran yang diajarkan di sekolah tersebut. Antara lain harus belajar enam bahasa. Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang dan bahasa Melayu. Nampaknya tahun 1935 - 1936, sekolah ini sudah memperkirakan bahwa bahasa Jepang akan menjadi bahasa yang penting. Bahasa Belanda dan Inggris harus dipelajari secara mendalam dibandingkan bahasa yang lain. Untuk dua bahasa itu murid-murid harus mempelajari tata bahasa, lafal dan bacaan, serta kesusasteraan.
Bidang jurnalistik ada tiga macam mata pelajaran. Mengarang, teknik reportase dan teknik wawancara. Selama dua tahun, setiap murid cukup digembleng dengan pekerjaan rumah untuk menulis dan menulis lagi. Dalam menulis inilah tampak bakat Burhanudin. Karena untuk pelajaran mengarang dan teknik reportase, Burhanudin selalu mendapat zeer goed, sangat bagus, angka 9. Ternyata Burhanudin seorang studen yang tekun dan bekerja keras untuk bisa lulus sesuai jadwal.
Pendiri Institut Ksatrian adalah EFE Douwes Dekker adalah wartawan yang pernah menerbitkan Bataavisch Nieuwsblad pada 1903 dan mendirikan Indische Partij bersama Dr Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat.
Douwes Dekker mengajar mata pelajaran Sejarah Hindia Belanda seperti yang tertulis pada kurikulum.Tetapi didepan kelas Dekker selalu mengajar sejarah Hindia Belanda dalam versinya sendiri, tidak mengikuti teks sejarah versi Belanda totok. Didepan kelas bahkan Dekker menggunakan sebutan 'Indonesia' untuk Hindia Belanda.
Suatu saat Burhanudin bertanya kepada Douwes Dekker bisakah dan kapan dia jadi wartawan terkenal? Dekker memandang Burhanudin dalam-dalam dan berkata,"Nanti, kalau kamu sudah berumur diatas 40 tahun." Burhanudin menarik napas dalam seakan tidak sabar, karena untuk mencapai itu harus menunggu dua dasawarsa lagi. Tetapi "ramalan" Douwes Dekker ternyata tidak meleset.
Petuah Douwes Dekker yang masih diingatnya adalah "Apabila kamu mau melawan orang barat, kamu harus menguasai ilmu pengetahuan yang mereka miliki". Ucapan ini merupakan cambuk bagi Burhanudin untuk menimba ilmu sebanyak mungkin.
Pada akhir masa studinya, Burhanudin mengalami kesulitan keuangan. Kakaknya yang biasa mengirim uang sekolah dan pondokan tidak memberikan kiriman lagi, sementara sebentar lagi ia menamatkan sekolah. Segera ia pergi ke Surabaya menemui Mohamad Judin, sang kakak tadi.
Burhanudin lalu mendapat surat dari Douwes Dekker yang bernada marah karena pergi tanpa pamit, tanpa melunasi uang sekolah dan pondokan. Rupanya uang kiriman dan surat berselisih jalan.
Dengan permintaan maaf, Burhanudin menerangkan uang sekolah dan pondokan sudah dikirim. Juga dijelaskan masalah kesulitan keuangan yang dihadapinya. Mengetahui itu, Douwes Dekker meminta maaf dan menyuruh Burhanudin kembali ke Bandung dan diangkat sebagai sekretaris pribadi Douwes Dekker.
"Saya sangat hormat kepada beliau. Orang kulit putih yang lebih berani dari rata-rata politikus Indonesia saat itu. Saya bangga sempat diajar beliau", demikian kenang Burhanudin. Sambil berkata begitu, diperlihatkannya rapor dan ijazahnya yang ditandatangani oleh anggota kurator merangkap Direktur dan sekretaris Institut Ksatrian, E.F.E. Douwes Dekker.

Dari buku
B.M. DIAH
Wartawan Serba Bisa

No comments:

Post a Comment