Monday, December 9, 2019

PEMBANTAIAN RAWAGEDE

HARI INI 9 DESEMBER. Tepat 72 thun PEMBANTAIAN RAWAGEDE
Lukas, Pejuang Karawang yang Nyaris Hilang

Lukas sering memakai seragam militer Belanda dalam menyamar. Sukses membajak kereta penuh senjata dan amunisi Belanda.

Rumah berkelir putih dengan arsitektur sederhana di Jalan Gadog I, Desa Cipendawa, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, itu kini selalu sepi. Pagar besi yang sudah berkarat selalu terkunci. Padahal pada 1990-an, rumah ini selalu ramai dikunjungi orang, baik tokoh pemuda, jawara, maupun prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Bekasi, Karawang, hingga Purwakarta.

Mereka datang menyambangi Brigjen (Purnawirawan) Lukas Kustaryo, yang sejak akhir 1980-an tinggal dan menetap di sana setelah pensiun dari militer. “Setelah Pak Lukas meninggal, rumah ini ditinggali anaknya, Lusi (Lusiati Kushendrini Purnomowati). Tapi saat ini Lusi sakit keras dan tinggal di Bandung,” ujar Edward alias Edi Warung, Ketua RT 04 RW 09 Desa Cipendawa, saat ditemui detikX.

Edward mengaku tidak tahu persis kiprah Lukas selama tinggal di Cipanas, karena usianya masih sangat muda saat Lukas masih hidup. “Yang kenal bapak saya sama Lukas. Kalau saya kenal sama Soni dan Lusi, anak Pak Lukas,” tutur Edward.

Kisah soal Lukas dan alasannya memilih Cipanas menjadi tempat terakhirnya didapatkan detikX dari Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede, Karawang, daerah yang sempat disinggahi Lukas saat Perang Kemerdekaan 1946-1947.

Lukas, yang lahir di Magetan, Jawa Timur, 20 November 1920, pernah membuat pusing penjajah Belanda dengan aksi gerilyanya di Karawang-Bekasi. Saat berusia belasan tahun, Lukas tercatat sebagai personel pasukan Peta. Karier terakhir di Peta adalah chudancho (komandan seksi) Heiho di Madiun. “Sewaktu di Magetan, ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah pada zaman Belanda. Kemudian, pada saat Jepang masuk, ia bergabung dengan Peta,” kata sejarawan Universitas Indonesia, Rusdy Husein, kepada detikX.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Lukas ditempatkan di Brigade III/Kian Santang, Purwakarta, yang saat itu dipimpin Letkol Sidik Brotoatmodjo. Lukas Kemudian menjadi Komandan Kompi Batalion I Sudarsono/Kompi Siliwangi atau yang dikenal sebagai Kompi Siliwangi Karawang-Bekasi. Saat ini sudah berganti nama menjadi Batalion Infanteri 202 Tajimalela, Bekasi, di bawah Kodam III/Siliwangi.

Saat menjadi komandan kompi, Lukas memang dikenal sebagai pejuang yang gagah berani dan punya banyak taktik untuk mengalahkan pasukan Belanda. "Ia suka memakai seragam pasukan Belanda untuk membunuh tentara Belanda. Selain itu, pria tersebut sangat gesit seperti belut saat disergap Belanda,” tutur Sukarman.

Selain sering menyamar dan membunuh prajurit Belanda, Lukas kerap kali merampas persenjataan pasukan Belanda yang diangkut kereta api yang melintas di Karawang. Lukas pernah membajak rangkaian kereta yang berisi penuh senjata dan amunisi bagi pasukan Belanda dari Karawang menuju Jakarta.

Karena ulah Lukas itu, pemerintah Belanda sampai-sampai menjulukinya sebagai Begundal Karawang. Belanda pun mengabadikannya dalam bentuk patung di sebuah gedung di Den Haag. “Saya tidak tahu persis lokasinya. Tapi, saat datang ke gedung itu, saya melihat patung separuh badan yang bertulisan ‘Lukas’ dan di bawahnya itu tertulis ‘Begundal dari Karawang’," kata Sukarman.

Dalam buku Sejarah Sumedang: Dari Masa ke Masa, disebutkan Lukas pernah berperan dalam mempertahankan Kota Sumedang dari invasi Belanda pada 22 Juli 1947. Tentara Belanda yang masuk ke Sumedang dihadang oleh kompi Lukas dan kompi Mursyid, sehingga terjadi pertempuran sengit selama dua jam. Sayang, karena alat persenjataan yang tak seimbang, pasukan Lukas dan Mursyid dipukul mundur. Sumedang pun jatuh ke tangan Belanda.

Setelah pasukan Belanda hengkang dari Indonesia, nama Lukas seolah hilang ditelan Bumi. Ia baru muncul ketika monumen pembantaian Rawagede didirikan.

Lukas diketahui pernah tiga kali datang ke pemakaman pahlawan Rawagede dan memberikan santunan kepada janda-janda korban pembantaian Belanda. Terakhir kali Lukas menginjakkan kaki di Rawagede adalah pada 1996 atau setahun sebelum wafat di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 8 Januari 1997, pada usia 77 tahun.

Menurut Sukarman, Lukas tinggal di Cipanas setelah menikah dengan perempuan asal Cianjur bernama Euis Nurjanah, yang dijadikan istri kedua. Adapun istri pertamanya bernama Sri Susestin, yang tidak lain adalah adik ipar Kharis Suhud, yang waktu itu menjabat Kepala Stasiun Kereta Api Cikampek.

Karena bujukan Lukas pula Kharis Suhud sang kakak ipar mau menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) hingga pangkat terakhirnya letnan jenderal TNI dan sempat menjadi Ketua DPR/MPR periode 1987-1982.

Meski sangat berjasa bagi perjuangan kemerdekaan, Lukas dikenal sebagai sosok yang rendah hati sehingga jarang yang tahu kiprahnya saat Perang Kemerdekaan. Masyarakat hanya tahu Lukas pernah menjabat Komandan Komando Daerah Militer Purwakarta, Jawa Barat.

Bahkan piagam pahlawan kemerdekaan yang diberikan dia sobek-sobek, yang berujung pada penolakan terhadap Lukas saat akan dikuburkan di makam pahlawan. “Saya sempat memberikan saran kepada Euis (istri Lukas), tolong piagam ini kalau bisa jangan dilipat-lipat, dirapikan. Kalau bisa, dipigura pakai kaca,” tutur Sukarman.

Namun baru dua hari melekat di dinding, piagam yang sudah dibingkai itu langsung dipecahkan Lukas. Piagam itu pun disobek-sobek dan dibuang ke tempat sampah. “Apa-apaan ini? Buat apa ini? Nggak ada artinya apa-apa ini buat aku,” kata Lukas kepada Euis kala itu.

Gara-gara piagam pahlawan yang dirobek dan dibuang, belakangan keluarga cemas karena jenazah Lukas ditolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, Cipanas, Cianjur. Sebab, Lukas dianggap tidak memiliki bukti otentik sebagai pahlawan.

Sambil menangis, Euis menelepon Sukarman dan menyampaikan bahwa jenazah suaminya tidak bisa dikuburkan di TMP Kusuma Bangsa oleh kodim setempat. Beruntung, Sukarman pernah menulis Riwayat Makam Pahlawan Rawagede yang diterbitkan pada 1991 dan catatan-catatan lain tentang peristiwa di Desa Rawagede, yang sekarang sudah berganti nama menjadi Desa Balongsari.

Dalam buku itu tertulis kisah heroik Lukas, yang berjuang dan sempat singgah di Rawagede saat melawan agresi militer Belanda yang dibantu Sekutu. “Ya, untung buku sudah dicetak. Dan saya bawa ke Cipanas. Saya juga jelaskan nomor dan tanggal penetapan Lukas yang ditandatangani Panglima TNI,” ujar Sukarman.

Namun, sebelum menjelaskan sosok Lukas sebagai pejuang Karawang, mantan Kepala Desa Rawagede ini diambil sumpah lebih dulu. Akhirnya, lepas tengah malam waktu Cipanas, yakni masuk tanggal 9 Januari 1997, diputuskan Lukas dimakamkan di TMP Kusuma Bangsa, yang hanya memiliki daya tampung 58 makam.

Satu hal yang membuat Sukarman bangga, dengan catatan yang dia miliki, Lukas kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal purnawirawan. Namun, menurut Rusdy, Lukas terakhir berpangkat brigadir jenderal.

No comments:

Post a Comment