Saturday, November 30, 2019

DR. KH. IDHAM CHALID


Dr. KH. Idham Chalid Ulama & Tokoh Pejuang Nasional

'' Semenjak berdirinya NU sampai saat ini Kyai Haji Idham Chalid adalah seorang ulama yang terlama memimpin NU yaitu selama 28 tahun, mulai tahun 1956-1984 M. namun menurut himpunan beberapa sumber beliau menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU selama 32 tahun dengan masa bakti 1952-1984 M. Beliau adalah tokoh Nasional yang berperan sebagai Seorang ulama dan politikus. Beliau juga seorang tokoh Indonesia yang pernah menjadi Pimpinan  dilembaga eksekutif, legislatif dan Ormas (Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR, dan Ketua Umum Pengurus Besar N ahdlatul Ulama' (PBNU). Juga pernah memimpin pada tiga parpol berbeda yaitu: Masyumi, NU, dan PPP. Beliau adalah tokoh Nasional yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama' dan pilitisi, sebagai ulama', beliau bersikap fleksibel dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam, demikian pula sebagai politisi beliau mampu melakukan gerakan strategis untuk kemanfa'atan bangsa".KH. Idham Chalid Jabatan Organisasi Islam didahului Ketua Umum PBNU: H. Hasan Gipo . Dr. KH. Idham Chalid 1952 ~1984 Di teruskan KH Abdurrahman Wahid  (Gus Dur)

Biografi.

KH. Idham Chalid lahir di Satui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian Tenggara Kalimantan Selatan. pada tanggal 27 Agustus 1921 M, dan Wafat di Jakarta, 11 Juli 2010  merupakan anak sulung dari lima bersaudara ayah beliau bernama: H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.

Di waktu Idham Chalid berusia enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, sebuah perkampun halaman leluhur ayahnya.

Sejak kecil KH. Idham Chalid di kenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR beliau langsung duduk di kelas dua dan bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal utama beliau dalam meniti karier di jagat politik.

Idham Cholid memiliki otak yang cerdas, hal itu sudah terlihat sejak duduk di Sekolah Rakyat (SR). berkat kecerdasan yang beliau miliki terkadang melompat naik kelas karena di nilai memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Masa pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) hanya beliau lalui selama empat tahun.

Setelah 'lulus di SR (Sekolah Rakyat) KH. Idham Chalid melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar Rasyidiyyah pada tahun 1943. Di madrasah ini beliau sedang tumbuh dan semangat dengan ilmu pengetahuan, beliau mendapat banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum. Kemudian KH. Idham Chalid melanjutkan pendidikan ke Pesantren Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Kesempatan belajar di Gontor juga manfaatkan beliau untuk memperdalam bahasa Jepang. Jerman. dan Prancis. Berkat kecerdasan dan belajar yang rajin Idham Chalid berhasil lulus dua tahun lebih cepat dari kebanyakan santri lainnya.

Di tahun 1943 M. KH. Idham Chalid lulus dari Gontor, kemudian melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibukota ini, kefasihannya dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama'. Dalam pertemuan pertemuan itulah KH. Idham Chalid mulai akrab dengan tokoh-tokoh penting NU. Ketika Jepang kalah perang dan sekutu masuk Indonesia, KH. Idham Chalid bergabung dengan badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, beliau aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia di daerah kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, beliau bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia.

Di tahun 1947 M. KH. Idham Chalid bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang di pimpin Hasan Basry yang juga muridnya saat di Gontor. Setelah perang kemerdekaan, KH. Idham Chalid di angkat menjadi Anggota Parlemen Sementara Rl mewakili Kalimantan. Tahun 1950 beliau terpilih kembali menjadi anggota DPR mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, KH. Idham Chalid memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama' dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.

Dalam bidang pendidikan, Idham mendirikan Universitas Nahdlatul Ulama/ UNNU (Sekarang Universitas Islam Nusantara) pada 30 November 1950 bersama K.H Subhan Z.E. (Alm.), K.H. Achsien (Alm.), K.H. Habib Utsman Al-Aydarus (Alm.), dan lain-lain dengan K.H.E.Z Muttaqien (Alm.)

Idham Chalid memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 beliau di angkat sebagai Ketua Pengurus Besar Ma'arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama beliau juga di angkat menjadi sekretaris jenderal partai. Dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye pemilu 1955 Idham Chalid menjadi Ketua Lajnah Pemilihan Umum NU. Sepanjang tahun 1952-1955, beliau yang juga menduduki dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Aam PBNU, KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.

Dalam pemilu 1955 M. Partai Nahdlatul Ulama (NU) telah berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar dalam pemilu 1955 M. pada pembentukan kabinet tahun berikutnya, Kabinet Ali Sastroamijoyo II, NU mendapat jatah lima Menteri, termasuk satu kursi wakil perdana  menteri, yang oleh PBNU di serahkan kepada Idham Chalid.

Pada Muktamar NU ke 21 di Medan bulan Desember tahun 1956, Idham Chalid terpilih menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Saat di percaya menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU beliau masih berusia 34 tahun. Jabatan tersebut beliau emban sampai tahun 1984 dan menjadikan orang terlama yang menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU selama 28 tahun.

Ternyata Kabinet Ali Sastroamijoyo II hanya bertahan satu tahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun 1959. Kemudian Idham Chalid ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Dan setahun kemudian menjadi Ketua MPR.

Keluarga.

Berikut Putra-putri dari KH. Idham Chalid dan Nyai Haji Mastura:

Saiful Hadi (anak laki-laki)Aunul Hadi (anak laki-laki)Anisah Nurul Huda (anak Perempuan)Dewi Mukminah (anak perempuan)Muhammad Nanang Mahdi (anak laki-laki).Siti Qonita Utama (anak perempuan).Mahdiah (anak perempuan).Muhammad Zainul Hadi (anak laki-laki).Dewi Muslimah (anak perempuan)Taufik Rachman Chalid (anak laki laki)

Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Akan tetapi Posisi Idham Chalid di pemerintahan tidak ikut tergusur. Dalam Kabinet Ampera I. Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I yang di bentuk Soeharto Beliau di percaya menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat. Kemudian diakhir tahun 1970 beliau merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial, melanjutkan tugas dari A.M. Tambunan yang telah meninggal dunia pada 12 Desember 1970M. sampai dengan terpilihnya pengganti yang tetap sampai akhir masa bakti Kabinet Pembangunan I pada tahun1973 M.

Organisasi Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan KH. Idham Chalid kembali mengulang sukses dalam pemilu 1971. setelah itu pemerintah menghilangkan seluruh partai hanya menjadi tiga partai: Golkar. PDI. Dan PPP dan NU bergabung di dalam PPP. KH. Idham Chalid menjadi pejabat presiden PPP. Yang beliau jabat sampai tahun 1989. Beliau Juga terpilih menjadi Ketua MPR/DPR RI sampai 1977. Jabatan terakhir Idham Chalid adalah Ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai tahun 1983.

Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan 6 tokoh lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011.Ia merupakan putera Banjar ketiga  yang diangkat
 sebagai Pahlawan Nasional setelah
Pangeran Antasari dan Hasan Basry. Alfatihah

Sumber :
1 Banjarmasin Post - KH Idham Chalid Berpulang. Diakses 11 Juli 2010
2 Radar Banjarmasin - Idham Chalid Pahlawan Nasional 2019

KORPS MARSOSE


KORPS MARSOSE (KORPS MARECHAUSSEE te VOET)
Pasukan elit kerajaan Belanda yang khusus dibentuk untuk menghadapi sengitnya perlawanan rakyat dan kerajaan Atjeh Darrusalam.
Para serdadu asli pribumi Nusantara yang menjadi Hamba Ratu dan Kerajaan Belanda.

PADA TANGGAL 06 AGUSTUS 1897,
SEBUAH UNIT KORPS MARECHAUSSEE MENYERANG BENTENG KOTA SOEKOEN (DEKAT SIGLI)
DAN MEMBUNUH LEBIH DARI 57 PRIA.
BEBERAPA MENIT SETELAH AKSI MEREKA BERPOSE SERAYA MENGINJAK MAYAT-MAYAT KORBAN.

Pasukan ini juga yang ditugaskan untuk menumpas perlawanan SISINGAMANGARAJA XII pada tahun 1907.

Sejarah dan tokoh² militer Belanda melabeli pasukan ini, #KOLONE_MACAN
yang berkarakter Sigap, andal di semua Medan,, brutal, kejam dan sadis.

Akibat tindakan² diluar batas kemanusiaan itu,
Korps Marsose akhirnya di bubarkan oleh Belanda sendiri pada tahun 1930.
________________________

LEBIH KURANG 300 an TAHUN SEBELUMNYA.

Belanda adalah negara jajahan Spanyol lebih kurang 80tahun lamanya.
Baru mulai berdaulat pada tanggal 23 Mei 1568.
Setelah merasa merdeka,
Belanda mencoba dan meminta bantuan dan dukungan dari dunia internasional ketika itu, terutama kepada negara-negara di benua Eropa.
Namun harapan Belanda tak ayal terwujud, karena negara-negara itu takut kepada Spanyol.

Sikap cuek orang kulit putih yang diterima Belanda ketika itu, membuat Pangeran Maurice mencari bantuan dan dukungan dari negeri yang lebih jauh dengan mengirimkan surat dan delegasi.

HARAPAN ITU PUN TERWUJUD :

Sultan Ali Ri'ayat Syah Saidil Mukammil,
SULTAN KERAJAAN ACEH DARUSSALAM ketika itu,
menyambut delegasi Belanda dan memperlakukan mereka sebagai tamu kehormatan.
LALU MEMBERIKAN HADIAH YANG SANGAT BERHARGA KEPADA RAKYAT DAN KERAJAAN BELANDA HINGGA SAAT INI, yaitu :

Mengakui Belanda sebagai negara yang berdaulat dan telah merdeka dari penjajahan Spanyol.

NAMUN HADIAH INI KEMUDIAN HARI DIBALAS BELANDA DENGAN ULTIMATUM PERANG KEPADA KERAJAAN ACEH ATAU ACEH TIDAK DIPERANGI ASAL MAU MENJADI KOLONI BAWAHAN KERAJAAN BELANDA.

AIR SUSU DIBALAS AIR TUBA

Friday, November 29, 2019

ISLAM DI KUDUS (ABAD 16 - 19 M)


ISLAM DI KUDUS ( abad 16 - 19 M )  ; ANTARA PERSPEKTIF BELANDA DAN HIKAYAT RAKYAT. 

Oleh:  Makhin Ahmad

Sejarah Kudus berangkat dari hijrahnya Sunan Kudus ke daerah Tajug yang berada di kawasan Pulau Muria. Dalam buku "The Islamic State of Java", Th. Pigeaud dan D.J. De Graf pernah menulis bahwa pasca hijrah ke pulau muria, Sunan Kudus berhasil membangun kota keagamaan yang hari ini bernama Kudus. Menurut tradisi lisan, kawasan tsb berada di sebelah barat sungai Gelis.  Istilah "Kota keagamaan" yang dipakai oleh D.J. De Graf ini-lah yang tentunya sangat menarik untuk kita dalami.

Dua sejarawan gaek di atas tidak menjelaskan gambaran yang rinci tentang kota islam yang baru ini. Dia hanya menulis bahwa kota di kawasan pulau Muria itu, seperti kota Pati, Jepara dan Juwana, adalah kota kecil dibanding Demak yang banyak ditumbuhi pohon-pohon jati. Kawasan pulau Muria pada abad 16 umun-nya menjadi pemasok beras ke kawasan Demak. Sebagaimana diketahui, Demak saat itu adalah kota terpenting di Jawa dan dihuni tak kurang dari 7 ribu orang.

Tome Pires di dalam bukunya "Suma Oriental" juga tidak banyak memberi informasi tentang islam di Kudus. Agen Portugis yang datang ke Jawa pada paruh pertama abad 15 M itu justru malah banyak berbicara tentang Jepara, Demak, Pati, atau Cajongan (Juwana). Hal ini bisa dimaklumi karena Kudus saat itu belum ada. Kudus sendiri baru berdiri sesudah kedatangan Pires, yakni pada tahun 1549 M. (Hitungan berdasarkan prasasti Menara).

Meski demikian, Tome Pires sempat menyebut lokasi Kudus berada, yakni kawasa gunung Muria. Ia juga menulis tentang adanya selat yang memisahkan Demak dengan kepulaun Muria, yang katanya bisa dilalui kapal-kapal besar hingga ke daerah Rembang. Apa yang disampaikan Pires ini, agaknya bisa diperkuat dengan cerita rakyat desa Jepang - Mejobo. Menurut tradisi lisan daerah tsb dulunya adalah rawa-rawa. Arya Jipang yang diyakini sebagai cikal bakal daerah tsb, dulu sempat menambatkan perahunya di daerah tsb saat hendak menemui Sunan Kudus. 

Sebelumnya Tome Pires juga telah menggambarkan kondisi sosial pesisir utara jawa secara umum. Menurutnya, di Pesisir utara Jawa saat itu banyak terdapat pedagang asing dari Arab, Persia, Gujarat, dan Cina. Apa yang disampaikan Tome Pires ini, jika kita tarik lebih jauh sebenarnya punya akar sejarah yang kuat. Apalagi secara geografis, laut Jawa saat itu merupakan jalur sutra perdagangan internasional. Wajar bila kemudian banyak pedagang asing di sepanjang pesisir tsb, terlebih pasca jatuhnya Malaka ke tangan VOC yang membuat para pedagang harus mencari lahan baru.

Tome Pires tidak menggambarkan secara rinci tentang kondisi islam di pesisir utara pada masa itu. Namun ia bilang bahwa orang asing itu, selain berdagang juga berdakwah dan membangun masjid. Pertanyaan kita : Apa nama masjid tsb dan ada di daerah mana ? Tidak ada informasi yang jelas. Hanya menurut tradisi lisan,  terdapat sebuah masjid di Demak yang usianya lebih tua dibanding masjid agung yang dibangun Wali songo. Konon, masjid ini dibangun oleh saudagar Palembang. Laporan ini kalau bisa dipastikan kebenarannya, agaknya akan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh utusan Portugis tsb.

Berbicara soal sejarah berdirinya kota Kudus tentu tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa hijrah-nya Sunan Kudus dari Demak ke kepulauan Muria. Peristiwa ini-lah yang kemudian tercatat oleh sumber-sumber Belanda, dan dianggap menjadi titik awal lahirnya kota "keagamaan" yang baru sebagai pecahan dari Demak. Pasca hijrah tidak saya temukan catatan rinci tentang kehidupan Sunan Kudus ini. Sumber-sumber yang ada justru lebih sering menyoroti kiprah beliau saat masih aktif di Demak.

Sedikit laporan yang bersumber dari Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Sunan Kudus membawa murid-muridnya saat hijrah ke kepulauan Muria. Tak ada catatan siapa murid yang dimaksud itu. Namun diriwayatkan beberapa nama orang yang pernah belajar kepada beliau, seperti Aryo Penangsang (Adipati Jipang), Sunan Prawoto (Raja Demak pasca Trenggono), dan Ratu Kalinyamat. Di dalam tradisi lisan masyarakat Dema'an juga disebut bahwa Pangeran Puger pernah berguru kepada beliau. 

Terlepas dari pro-kontra di atas, yang jelas agama islam pada saat itu (abad 15) sudah menyebar ke berbagai pelosok kaki gunung Muria. Dalam artian bahwa islam tidak hanya dianut oleh penduduk sekitar Menara saja -- sebagai pusat islam Kudus saat itu -- tapi juga telah dianut di berbagai kawasan lain. Beberapa hikayat rakyat, adanya makam-makam tua dan temuan arkeologis mengindikasikan tepri ini. Apalagi saat itu banyak delegasi kerajaan Demak lainnya yang telah menyebarkan islam di berbagai penjuru pulau Muria.

Sekitar tahun 2010 pernah ditemukan beberapa makam tua di daerah Loram (kecamatan Jati) yang diperkirakan berasal dari abad 15 M. Posisi makam yang menghadap ke barat, memberi indikasi kuat bahwa itu adalah makam islam. Hal ini jelas memberi informasi adanya pemeluk islam di kawasan tsb sejak zaman dulu. Apalagi pernah ada laporan serupa yang seingat saya pernah didasarkan pada penelitian Agus Sunyoto.

Beberapa simbol islam, khususnya masjid yang dibangun pada abad 16 setidaknya juga masih eksis sampai hari ini. Sejarawan belanda seperti De Graff, Pigeaud dan Denys Lombard pernah menyebut masjid Al-Manar atau Al-Aqsha. Berdasarkan prasasti yang ada, masjid ini memang selesai dibangun pada masa Sunan Kudus. Yakni tahun 1549 M. Sejauh penelusuran saya, hanya masjid ini-lah yang disebut para sejarawan belanda itu. Hal ini seolah mengindikasikan bahwa islam di Kudus saat itu hanya ada di daerah Menara saja. Padahal tidak demikian.

Dalam tradisi lisan masyarakat misalnya, saat itu juga sudah ada beberapa masjid di Kudus. Diantaranya masjid Madureksan di sebelah selatan masjid Menara. Masjid ini bahkan dianggap lebih tua dari masjid menara. Di bagian timur, tepatnya di daerah Jepang - Mejobo terdapat masjid wali yang oleh masyarakat diyakini dibangun pada periode ini. Di daerah Loram - Jati juga terdapat masjid Wali yang didirikan pada abad 16 ini. Dalam tradisi lisan masyarakat, Sunan Kudus menjadi pelopor berdirinya masjid ini. Sementara di daerah Jekulo, juga ada masjid yang kini bernama Baitus Salam. Dalam catatan para Kyai sepuh setempat, nama Sunan Kudus juga disebut sebagai salah satu pelopor pendirian masjid ini.

Apalagi jika kita membicarakan fakta menarik tentang jaringan makam-makam tua di Kudus. Yang biasanya mereka ini berafiliasi ke Sunan Kudus, Sunan Muria atau bahkan diantaranya ke Demak. Baik dalam hubungan guru murid, prajurit perang, atau abdi dalem. Berdasarkan tradisi lisan yang ada, jaringan itu terutama jaringan guru - murid, menggambarkan sebuah teori yang menarik, bahwa dakwah kedua Sunan tsb -- kemungkinan juga Sunan lainnya -- merupakan sebuah program yang telah disusun sistematis. Dalam artian para Sunan tsb tidak sendirian di dalam mengemban misi dakwah tsb, melainkan juga mengerahkan para muridnya yang dikirim ke berbagai daerah.

Sebut saja Sunan Muria. Dalam hikayat rakyat, ia mengirim murid-muridnya ke berbagai desa. Seperti Mbah Jaelani ke daerah Garung - Kaliwungu. Atau Mbah Abdul Jalil ke ke daerah Jekulo yang juga berafiliasi ke Demak sebagai salah satu panglima perang.  Atau misalnya Pangeran Poncowati yang di makamkan di belakang masjid Menara. Dugaan di atas semakin kuat bila kita menengok tradisi lisan masyarakat Loram yang percaya bahwa penyebar islam di kawasan tsb adalah sultan Hadirin yang diutus oleh Sunan Kudus secara langsung.

Berbicara peran orang-orang cina di Kudus, lagi-lagi berdasarkan tradisi lisan, kita juga akan mendapati jaringan cina muslim di Kudus dan secara umum di pesisir utara Jawa. Pada abad 16 M ini, secara umum sumber-sumber belanda juga pernah menyebut komunitas Cina di pesisir utara. Di Kudus sendiri, tercatat nama-nama cina yang berjasa menyebarkan islam. Sebut saja Sunan Telingsing ( guru Sunan Kudus) dan ayahnya, Sun Ging An. Tokoh terkait -- terlepas benar adanya -- adalah penyebar islam di Kudus sebelum kedatangan Sunan Kudus. Namun sayangnya, tidak ada dokumen tertulis yang menjelaskan sosok ini. Sumber lisan hanya menyebut ia berafiliasi kepada Ceng-Ho.

Anak buah Ceng-Ho ini -- dalam tradisi lisan -- juga terlacak jejaknya di kawasan Loram - Jati. Sultan Hadirin yang oleh masyarakat setempat pernah menyebarkan islam di kawasan tsb, kabarnya ditemani seorang keturunan Cina bernama Tji Wie Gwan. Menurut masyarakat, tokoh cina terkait selain ikut menyebarkan islam, juga membuat gapura masjid yang bisa kita lihat sampai sekarang. Tokoh cina juga terlacak di daerah Ngembal rejo. Orang tsb bernama Cong-He, dan sekarang namanya dijadikan nama desa daerah tsb. Namun sekali lagi, kami tidak bisa memverifikasi kebenaran cerita-cerita tsb.

Pada abad 17 M atau era kepemerintahan Mataram, lagi-lagi tidak ada catatan rinci tentang Kudus yang bisa kita tampilkan. Secara politis, juga tidak ada laporan tentang jejak siapa penerus pemerintahan. Sumber belanda menulis, bahwa penerus Sunan Kudus ketiga melarikan diri ke jawa timur. Hal ini dipicu karena persoalan politik. Lagi-lagi tidak diketahui kemana ia lari, namun kemungkinan ke Madura.

Berdasarkan sumber lisan, pada abad 17 ini, terdapat pendakwah asal Madura di kawasan Padurenan - Gebog. Tokoh tsb bernama Raden Syarif dan diyakini merupakan putera dari adipati Sumenep, Pangeran Yudonegoro. Tidak jelas kapan ia datang ke Kudus. Sumber lisan hanya menyebuy bahwa ia selalu berpindah-pindah tempat dalam berdakwah. Dia bahkan juga pernah berdakwah di Mayong - Jepara. Sementara di kawasan Ngembal Rejo kabarnya juga terdapat tokoh agama bernama Ki Kalamudin.  (Sementara orang keliru menyebut beliau sebagai nama lain dari Mbah Abdur Rohim. Ulama' ngembal yang hidup abad 18 M, keturunan Sunan Tegal Arum).

Pada abad 18 M sepanjang penelusuran saya tidak ada catatan rinci tentang kondisi islam di Kudus. Hanya ada beberapa nama tokoh agama yang biografinya tidak banyak terdeteksi. Salah satunya "Ketib Anom Kudus" yang disebut dalam Serat Cebolek sebagai penentang Syekh Mutamakkin ( Kajen - Pati). Dalam serat tsb, Ketib Anom diceritakan bahwa Sang Ketib menentang habis-habisan ajaran Mbah Mutamakkin yang dianggap tidak benar. Konflik antara keduanya bahkan sampai ke telinga keraton Surakarta. Namun sekali lagi, biografi tentang "Ketib Anom" tsb tidak kami dapatkan. Hanya yang jelas, berangkat dari gelarnya. Sosok tsb adalah Ulama Kudus yang menjabat posisi keagamaan di keraton (Surakarta).

Sekitar akhir abad 18, kami merlacak beberapa nama Ulama Kudus di manuskrip-manuskrip kuno. Salah satunya manuskrip terjemahan "Fathul Muin" berbahasa jawa milik perpustakaan pesantren Al-Yasir, disebut secara jelas penulisnya bernama Tuan Haji Ismail Kudus. Kemudian ada keterangan bahwa penulis pengamal tarekat Khalwatiyah - Samman, tarekat yang dipopulerkan oleh Abdus Shamad al-Palimbani dan duo banjar, Arsyad al-Banjari dan Nafis al-Banjari.

Dari data terbatas yang ada tsb, ada dugaan kecil jaringan Sammaniyah pernah ada di Kudus ini. Setidaknya pada akhir atau awal abad 19 M. Yang lebih membuat penasaran, di manuskrip satunya yang juga bersumber dari Kudus, penulis manuskrip secara lebih jelas mengaku memperoleh pelajaran tajwid al-Quran dari "Maulana Arsyad bin Abdullah". Sayangnya tidak ada imbuhan gelar "Al-Banjari" setelah nama tsb, sehingga tidak bisa diyakini bahwa tokoh yang dimaksud adalah pembawa tarekat Samman ke Indonesia.

Namun berdasarkan isi manuskrip yang berbahasa melayu khas banjar, saya menduga kuat tokoh terkait adalah Syekh Arsyad al-Banjari. Ditambah lagi fakta adanya Tuan Haji Ismail yang merupakan pengamal tarekat khas Syekh Arsyad, tentu ini juga memperkuat dugaan adanya jaringan murid Syekh Arsyad al-Banjari, atau paling tidak jaringan tarekat Samman di Jawa khususnya Kudus. Hipotesis yang kami tampilkan ini, sekali pun perlu kajian mendalam lagi, tapi setidaknya memberi harapan terhadap rekonstruksi sisi-sisi sejarah islam Kudus yang lama terkubur.

Kondisi islam di Kudus terbaca secara lebih utuh baru  pada abad 19 M. Pada periode ini, secara struktural pusat pemerintahan Kudus sudah dipindahkan ke kawasan sebelah timur sungai Gelis. Kawasan ini kemudian banyak dihuni oleh orang-orang Cina dan pendatang dari luar. Secara kondisi keagamaan, Kudus abad 19 M juga sudah terdapat banyak pengajian dan Kyai. Pada periode ini, sejauh penelusuran saya memang belum ada pesantren atau madrasah di Kudus. Tapi tidak berarti kegiatan keagamaan juga tidak ada.

Dama catatan kami tentang Ulama-Ulama Kudus apada abad 18 ini juga banyak nama Ulama yang hari ini sudah tidak terdengar lagi. ada nama-nama seperti Kyai Asnawi Sepuh (Cucu Mbah Mutamakkin), Kyai Abdullah Sajjad (pendiri Muawanatul Muslimin), Kyai Imam Haramain (kakek Mbah Arwani), Kyai Abdullah Faqih, Kyai Raden Syarbini (Piji Dawe), Sayid Ali (gebog), Kyai Abdul Jalil, Kyai Moh Imam, Kyai Kamal Damaran, Kyai Mufid Sunggingan, Kyai Nurhadi, Kyai Asnawi Kudus, Kyai (mbah) Sanusi Jekulo, Kyai Ya'qub Gili, Kyai Abdur Rahim (Ngembal rejo), Kyai Yasir (Jekulo), Kyai Fakhrur Rozi, Kyai Shaleh Asnawi ( putra Kyai Asnawi sepuh) dan banyak tokoh lain.  Tokoh terakhir ini kemudian menjadi salah satu guru dari Kyai Shaleh Ndarat (semarang).

Pada abad 19 ini juga banyak orang-orang Kudus yang meneruskan study ilmu agama di Mekkah. Seperti umumnya tradisi Mekah, Orang-orang Jawa yang tinggal di sana biasanya diberi nama akhiran kota asalnya. Maka orang-orang Kudus pun demikian. Seperti Ali Kudus (ayah Syekh Abdul Hamid), Hamid Mannan Kudus, Utsman Kudus, dan beberapa nama lain.

Pada periode ini tercatat ada keluarga dari Yaman yang hijrah ke Kudus. Namanya Abdul Qadir. Tidak jelas di mana tepatnya keluarga itu tinggal. Di Kudus itu lahir-lah putra laki-laki yang bernama Ali.  Keluarga mereka akhirnya hijrah ke Mekah, dan Ali kecil mulai belajar agama di sini. Kelak Ali ini menjadi Ulama besar di Mekah yang mengarang banyak kitab keagamaan. Diantaranya kitab Kifayatul Mubtadi yang membahas persoalan akidah.

Sosok lain asal Kudus yang tinggal di Mekah adalah Haji Hamid Mannan. Kami tidak mendapati sumber utuh mengenai sosok ini. Namun dalam catatat sejarah Raden Asnawi, tokoh yang kita bicarakan ini membangun rumah tinggal di Mekah. Dan di situ-lah, Kyai Raden Asnawi tinggal selama menuntut ilmu.   Haji Hamid  tercatat juga punya relasi dengan mufti Mesir saat itu, Sayid Bik al-Husaeni. Dia-lah yang mempertemukan Kyai Raden Asnawi dengan sang mufti tsb.

Sosok lain yang belajar di Mekah pada era ini adalah Utsman bin Abdullah Kudus. Dugaan saya sosok ini adalah murid dari Syekh Nawawi banten. Namun lagi-lagi biografinya tidak terlacak. Sementara ini saya hanya menemukan keterangan bahwa tokoh terkait adalah penulis naskah kitab Mabadi' al-'Asyrah (10 prinsip keilmuan) karya Sekh Nawawi banten. Naskah tsb tersimpan di perpustakaan King Abdul Aziz dan selesai ditulis oleh tokoh tsb pada tahun 1322 H. Karya Syekh Nawawi ini -- sejauh penelusuran saya -- juga belum pernah terbit.

RUHANA KUDDUS


Koto Gadang adalah sebuah nagari (setingkat desa) di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Nagari ini terkenal sebagai penghasil kerajinan perak dan melahirkan banyak tokoh-tokoh tingkat nasional bahkan internasional, seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Soetan Sjahrir, Haji Agus Salim, Jenderal Rais Abin, Rohana Kudus, dan banyak tokoh lainnya.

Telisik tentang Ruhana Kuddus adalah tokoh dari Sumatera Barat adalah wartawan perempuan. Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Ia juga aktif menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia.

Ketika medianya dibredel pemerintah Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Ruhana lahir di Kota Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Roehana adalah kakak tiri dari Sutan Sjahrir, bibi penyair Chairil Anwar, dan sepupu H Agus Salim.

Nama Ruhana Kuddus mulai dikenanag lagi sejak Jum’at (8/11/2019), secara resmi dianugerahi pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara

Jurnalis perempuan pertama di Indonesia itu ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan putuskan pertemuan antara Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan dengan Presiden Joko Widodo, Rabu (6/11/2019). Sebagai wartawati, Ruhana Kuddus merupakan orang pertama yang melahirkan surat kabar perempuan. Surat kabar Soenting Melajoe yang didirikan Ruhana pertama kali terbit pada 10 Juli 1912.

Nama asli Rohana Kudus adalah Siti Roehana kemudian menikah berubah menjadi Roehana Koeddoes. Dia lahir dari keluarga terpandang di daerah tersebut. Rohana berasal dari keluarga terpelajar, ayahnya bernama Mohammad Rasjad dengan gelar Maharadja Soetan, ayahnya ini mendapat pendidikan zalam kolonial Belanda dan meniti karir sebagai pegawai kejaksaan pemerintah Hindia Belanda yang ditugaskan dibanyak tempat di Sumatera Barat. Sementara ibu Rohana adalah Kiam yang berasal dari pesukuan Sikumbang

Saat kecil Rohana Kudus tidak mendapatkan pendidikan seperti kaum laki-laki, Rohana Kudus, namun sejak kecil Rohana sudah diajarkan ayahnhya membaca huruf latin dan Arab-Melayu saat itu masih berusia lima tahun.

Kehidupanya berpindah-pindah karena mengikuti sang ayah yang dipindahkan ke berbagai daerah, pada saat usia 6 tahun ayahnya dipindahkan ke Alahan Panjang disana bertemu dengan keluarga Lebai Rajo Nan Sutan yang merupakan Jaksa Alahan Panjang yang juga berasal dari Koto Gadang dan istrinya Aidiesa, pasangan ini tidak memiliki anak sehingga mereka menjadikan Rohana menjadi anak angkatnya

Dari Aidiesa ibu angkat Rohana bisa membaca dan menulis, biasanya dia belajar pada siang hari baru malam hari dia kembali kerumah orang tuanya. Ditempat orang tua angkatnya Rohana juga bebas membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berita politik, gaya hidup, serta pendidikan di Eropa.

Di usianya yang ke 24, Rohana kembali ke Koto Gadang dan menikah dengan Abdul Kudus. Pernikahan tak membuat semangat belajarnya meredup. Pada tanggal 11 Februari 1911 dan pada 1915 resmi berdiri Yayasan Kerajinan Amai Setia. Rohana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia.

Sebuah sekolah khusus perempuan yang berfokus pada keterampilan. Namun, walau berfokus pada keterampilan, Rohana juga mengajarkan berbagai pelajaran umum, seperti pendidikan baca-tulis, agama, budi pekerti, keuangan, dan juga bahasa Belanda

Dulu di Koto Gadang Rohana Kudus bersama Rakina Putih mengajak ibu-ibu jaman dulu dimana pada saat itu ibu-ibu itu tidak boleh keluar rumah tidak boleh kerja diluar, mula-mula diajar tulis baca, habis itu lama-lama diajak menyulam, jadi ibu-ibu sini senang semua jadi anggota Amai Setia hampir semua di kampung ini jadi anggota mereka belajar menyulam, merenda dan menenun

Perjuangan Rohana dalam memajukan kaum perempuan di Sumatera Barat bukanlah hal yang mudah. Berbagai penentangan didapat dari pemuka adat dan masyarakat lelaki Minangkabau. Mereka beranggapan, untuk apa perempuan harus setara laki-laki.

Source: Berbagai sumber

GEREJA TUGU DI KAMPUNG TUGU JAKARTA UTARA


Gereja Tugu  berada di Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Gereja Tugu adalah salah satu gereja tertua di Indonesia yang terletak di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Secara pasti tidak diketahui kapan mulai dibangun, tetapi para ahli sejarah menyimpulkan sekitar tahun 1676-1678 oleh Melchior Leydecker, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia.

Pada tahun 1737 dilakukan renovasi pertama dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan  Portugis kelahiran Lisabon yaitu Ferreira d'Almeida dan orang-orang Mardijkers.

Tahun 1740 bersamaan dengan terjadinya Pemberontakan Tionghoa (Cina Onlusten) dan pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia, yang terjadi pada masa Gubernur Jendral Adriaan Valckenier yang berkuasa di Batavia pada tahun 1737-1741, Gereja Tugu hancur.

Kemudian pada tahun 1744 atas bantuan seorang tuan tanah Yustinus Vinck gereja ini dibangun kembali, dan baru selesai pada 29 Juli 1747 yang kemudian diresmikan pada tanggal 27 Juli 1748 oleh pendeta J.M. Mohr.

1748 - 2019, 271 tahun...

TJILIK RIWUT


Tjilik Riwut, sang legenda Kalimantan Tengah.
.
Lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah, pada 2 Februari 1918.
Wafat di Banjarmasin 17 Agustus 1987 (umur 69). 32 tahun yang lalu.

Ia Bupati Kotawaringin Timur tahun 1955. Selaku bupati Kotawaringin, ia mengirim telegram ke pemerintah pusat perihal keinginan orang Dayak membentuk provinsi sendiri, pada Oktober 1956.
1957 Tjilik Riwut dipercaya menjadi Gubernur Kalimantan Tengah selama 9 Tahun (1957-1966).

Pembangunan Palangka Raya sebagai ibu kota Kalimantan Tengah. dibangun di atas hutan yang bersisian dengan kampung Pahandut, desa berpenduduk sekitar 900 jiwa di tepi Sungai Kahayan.
.
1998 ia di angkat sebagai pahlawan nasional. Bukan tanpa alasan, Tjilik Riwut tergabung dalam pasukan MN 1001, pada Oktober 1945.
Ia ditunjuk memimpin Pasukan Payung. Waktu itu Kalimantan terisolasi dan dijaga ketat Belanda. Ia memberi usul untuk masuk lewat udara dengan terjun payung"

14 orang termasuk Tjilik Riwut adalah,
Kapten Hari Hadisoemantri (asal Semarang)
Letda Iskandar (Sampit)
Serma Kosasih (Barito)
Kapten FM Soejoto (Ponorogo)
Bachri (Barabai)
J Bitak (Kelapa Baru-Kalimantan)
C Willem (Kuala Kapuas)
Imanuel Nuhan (Kahayan Hulu)
Mika Amirudin (Kahayan Hulu)
Ali Akbar (Balikpapan)
Letda M Dachlan (Sampit)
JH Darius (Kasongan)
Marawi (Rantau Pulut).
.
Bermodalkan parasut bekas tentara Jepang dan tidak ada anggota Pasukan Payung yang pernah naik pesawat.
Mereka terjun ke Sambi, Kotawaringin, lantas menggalang warga setempat guna bergerilya.
Momen tersebut kelak diperingati sebagai hari lahir Pasukan Khusus TNI-AU.

Meski tak turut terjun, Tjilik Riwut berperan sebagai komandan dan penunjuk jalan dalam operasi yang melibatkan 14 orang itu.
.
Tjilik Riwut yang memimpin pemuda Dayak untuk bersumpah setia kepada Indonesia. Sumpah dilakukan tujuh pemuda Dayak di hadapan Presiden Sukarno, di Gedung Agung, Yogyakarta, pada 17 Desember 1946. Para pemuda itu jadi wakil 185.000 warga, yang mencakup 142 suku Dayak.

Thursday, November 28, 2019

RIWAYAT RUMAH TUA SUNGAI JINGAH


RIWAYAT RUMAH TUA SUNGAI JINGAH
(Kampung Tua Di Banjarmasin)

Nama Kampung Sungai Jingah berasal dari nama sungai kecil bernama Sungai Jingah. Dinamakan  Sungai Jingah dahulunya di sepanjang sungai kecil ini terdapat banyak pohon Jingah.

Pada kawasan ini dahulunya berdomisili beberapa saudagar kaya. Satu diantaranya Haji Abdul Ghani Kamar. Seorang saudagar,  pedagang antar pulau. Dari wilayah Banjarmasin Haji Abdul Ghani Kamar membawa komoditas tikar purun, hingga kue kering (wadai karing) untuk dijual kembali di wilayah Surabaya (Jawa Timur)

Sementara dari Jawa, beliau membawa banyak komoditas yang diperdagangkan berupa barang kelontong, garam, meubel, serta bahan pokok lainnya. Barang ini sangat dibutuhkan di Geemente (Kota) Banjarmasin.

Selain itu juga beliau membawa komoditas berupa tembakau dan Bawang dari Bima dan Surabaya. Pada masa keemasan usahanya Haji Abdul Ghani Kamar bahkan memiliki dua buah gudang di Kota Surabaya.

Sekitar tahun 1925, Haji Abdul Gani Kamar membangun rumah megah dan naik haji ke Mekkah bersama semua anak anaknya. Rumah yang dibangun beliau adalah rumah bertipe Bangun Gudang, yang masih berdiri megah sampai sekarang.

Kalau dihitung hingga tahun 2019, rumah ini berusia hampir satu abad atau sekitar 94 tahun. Data artefak yang mendukung bahwa rumah ini dibangun tahun 1925 adalah tulisan berhuruf Arab 1334 Hijriyah dan Anno 1925.

Rumah ini bercat warna krem dan sedikit perpaduan cat warna coklat tua itu, masih berdiri kokoh. Selain itu, rumah ini juga diberi sentuhan warna hijau pada bagian pintunya. Sejak awal rumah ini tidak mengalami banyak perubahan dengan tipe Bangun Gudang beserta bentuk dan warnanya.

TENTARA JERMAN DALAM PERANG KEMERDEKAAN INDONESIA


Tentara Jerman dalam Perang Kemerdekaan Indonesia

Terseret arus Perang Dunia II, tentara Jerman ini memutuskan ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
 Awak Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) dari Kapal Selam U-219. Beberapa anggotanya bergabung dengan gerilyawan republik Indonesia.

SELAMA penggojlokan di Sarangan, kadet Sayidiman Suryohadiprojo mengenal lelaki berkulit putih sebagai pelatih jasmani terbaik: disiplin dan ulet. Dengan gayanya, dia berhasil menjadikan anak-anak Akademi Militer Yogyakarta menguasai gerakan-gerakan senam yang sebelumnya hanya bisa dikuasi orang-orang Belanda. Adalah Her Hufper, seorang Jerman yang mengajar senam dan atletik bagi para kadet Akademi Militer Yogyakarta.

“Hufper bukan pelatih sembarangan, dia adalah pelatih senam tim Jepang dalam Olympiade tahun 1940 yang kemudian gagal diadakan,” ujar Sayidiman, terakhir pangkat Letnan Jenderal.

Menurut lulusan terbaik Akademi Militer Yogyakarta angkatan pertama tersebut, Hufper bukanlah satu-satunya orang Jerman yang terlibat dalam pendidikan calon-calon perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di Sarangan terdapat para instruktur Jerman yang mengajarkan bahasa asing (Jerman, Inggris, Prancis) dan keterampilan morse. Untuk materi yang terakhir ini, para kadet Akademi Militer Yogyakarta dididik secara khusus oleh bekas markonis Jerman yang memiliki kemampuan mengirimkan dan menangkap tanda morse dalam kecepatan tinggi.

Sejarawan militer Nino Oktorino menyebutkan bahwa sejak menginjakan kaki di tanah Nusantara pada awal-awal balatentara Jepang datang ke Jawa, sudah banyak perwira Jerman menyimpan simpati terhadap rakyat Indonesia. “Saat berkumpul, mereka kerap mendiskusikan tentang kemerdekaan Indonesia…” tulis Nino dalam Nazi di Indonesia, Sebuah Sejarah yang Terlupakan.

Soal ini juga diakui oleh sejarawan Jerman Herwig Zahorka. Dia bahkan menyebut, pasca berakhirnya Perang Dunia II, setidaknya ada dua prajurit Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) dari Kapal Selam U-219 yang bergabung dengan gerilyawan Indonesia untuk memerangi militer Belanda. “Nama mereka adalah Warner dan Losche…” ungkap ahli sejarah militer Jerman di Indonesia tersebut. Lantas bagaimana nasib mereka berdua?
Zahorka hanya mengatakan bahwa begitu lolos dari kamp konsentrasi Sekutu di Pulau Onrust (masuk wilayah Kepulauan Seribu), Warner dan Losche menjadi pelatih militer pada sebuah kesatuan tentara Indonesia di pulau Jawa. “Salah seorang dari mereka yakni Losche malah gugur dalam suatu kecelakan saat melatih para gerilayawan republik membuat sejenis pelontar api,” kata Zahorka.

Menurut Nino, Warner dan Losche, serta satu Jerman lain yang tidak diketahui namanya, memang ditugaskan untuk melatih suatu kesatuan tentara Indonesia di perkebunan kopi di Ambarawa, Jawa Tengah.

Sumber NEFIS (Dinas Intelijen Militer Belanda) membenarkan adanya puluhan orang Jerman yang memihak Indonesia dalam perang kemerdekaan (1945-1949). Hal ini diungkapkan oleh Jenderal Simon Hendrik Spoor dalam biografinya, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, karya sejarawan militer Belanda J.A. de Moor.

Spoor menceritakan adanya orang-orang Jerman dalam suatu pertempuran: “…Sepuluhan orang Jerman katanya memperdengarkan diri dengan keras dan jelas di dalam semak, tanpa pernah secara fisik menampakan diri.”

Oleh Hendi Jo

🇮🇩 JASMERAH

PONDASI CEKER AYAM


Pondasi Ceker Ayam

Nama Prof.Dr.Ir. Sedyatmo mungkin terdengar asing di telinga kita. Namun, taukah kamu kalau ternyata ia adalah salah satu orang yang berpengaruh di dunia pembangunan? Salah satu hasil pemikiran kecerdasannya sudah diakui dunia dari karya teknologi pemasangan pondasi yang kokoh di atas tanah labil. Gagasan ini banyak diterapkan di berbagai bangunan di seluruh dunia.

Prof.Dr.Ir. Sedyatmo adalah Putra kebanggaan Karanganyar, Jawa Tengah. Sejarah awal mula munculnya gagasan “Pondasi Ceker Ayam” ini adalah saat ia memegang tanggung jawab untuk membangun menara listrik bertegangan tinggi di daerah rawa-rawa di kawasan Yogyakarta dengan persoalan struktur tanah yang lembek dan tidak stabil. Hingga munculah gagasan mendirikan menara di atas pondasi plat beton dengan ditopang oleh pipa-pipa beton di bawahnya.

Pipa atau pelat beton ini kemudian bersatu dan mencekeram tanah yang lembek dengan sangat kuat sehingga menjadi pondasi dasar menara yang kokoh. Sejak saat itulah nama “Pondasi Cakar Ayam” muncul. Sekarang ini, metode ini diterapkan di beberapa daerah di tanah air, seperti pembangunan landasan pacu Bandara Internasional Soekarno Hatta dan ratusan bangunan lainnya di dunia.

Gagasan “Pondasi Cakar Ayam” hasil kerja keras Professor Sedyatmo tersebut juga mendapat pengakuan paten dari beberapa negara di dunia.

🇮🇩 JASMERAH

Wednesday, November 27, 2019

SARDJITO


RUMAH SAKIT SARDJITO. YOGYAKARTA.........Mengenang Jasa Sardjito, Rektor Pertama UGM Pembuat Biskuit Bagi Pejuang Kemerdekaan

Rektor pertama UGM, Sardjito dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sardjito ini akan dilakukan, Jumat (8/11).

Sardjito menjabat sebagai Rektor UGM sejak tahun 1950 hingga 1961. Setelahnya Sardjito sempat pula menjadi Rektor UII periode 1964 hingga 1970.

Rektor UGM, Panut Mulyono mengatakan Sardjito memiliki jasa yang besar saat awal pembentukan Indonesia. Panut menyebut jika Sardjito pun ikut berperan dalam medan perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sardjito, sambung Panut, ikut berperang dan membantu di bidang medis. Salah satu sumbangsih Sardjito dalam perang kemerdekaan adalah membuat biskuit bagi para pejuang dan tentara Indonesia.

"Prof. Sardjito pernah ikut perang juga ya, artinya membantu tentara-tentara yang berperang. Yang sangat terkenal itu kan biskuit Sardjito," ujar Panut, Jumat (8/11).

Di masa perang kemerdekaan, Sardjito meracik makanan khusus untuk bekal tentara Indonesia di medan perang. Biskuit itu kemudian dikenal dengan nama Biskuit Sardjito. Bekal Biskuit Sardjito ini membantu tentara Indonesia di saat kesulitan bekal makanan.

"Biskuit Sardjito itu mempunyai formula yang khusus. Sehingga bisa menahan lapar atau energinya cukup besar untuk di lapangan. Memang banyak jasa beliau," ucap Panut.

Mengamankan Vaksin Cacar dari Jepang

Jasa lain dari Sardjito adalah mengamankan vaksin cacar yang dikembangkan Institut Pasteur Bandung dari tangan Jepang dan Sekutu. Di era itu vaksin cacar sangat dibutuhkan bagi Indonesia

"Beliau pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium Pasteur. Waktu itu memindahkan vaksin jika dibawa dengan, mungkin wadahnya itu takut ketahuan di jalan oleh pemerintah Belanda atau Jepang yang saat itu. Sehingga (vaksin cacarnya) disuntikkan di kerbau, nanti setelah sampai Klaten itu vaksinnya diambil lagi," ungkap Panut.

Panut menerangkan jasa lain Sardjito juga terlihat di bidang pendidikan. Selain menjadi rektor pertama UGM, Sardjito pun banyak membidani lahirnya perguruan tinggi lain.

Sardjito Dikukuhkan Sebagai Pahlawan Nasional
Rektor pertama UGM, Prof. Dr. Sardjito, dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini akan dilakukan pada Jumat (8/11).

Sardjito dianugerahi gelar Pahlawan Nasional usai diusulkan oleh UGM. UGM sendiri sudah sejak sembilan tahun yang lalu mengajukan Sardjito sebagai Pahlawan Nasional.

Salah seorang anggota tim pengusul, Sutaryo menerangkan bahwa tim bentukan UGM untuk mengusulkan Sardjito menjadi Pahlawan Nasional telah mulai bekerja sejak 2011 yang lalu. Di tahun 2012 tepatnya di bulan Juli, tim bentukan UGM ini sudah merampungkan surat pengusulan.

"Sardjito merupakan sosok ilmuwan pejuang sekaligus pejuang ilmuwan. Sardjito fokus dan aktif waktu itu di bidang pendidikan seperti di Budi Utomo," ucap Sutaryo.

Sutaryo juga menerangkan jika Sardjito juga peletak Pancasila sebagai dasar perguruan tinggi di Indonesia. Sosok Sardjito juga dikenal sebagai pendiri PMI dan banyak meneliti obat-obatan bagi rakyat maupun pejuang kemerdekaan.

"Ya sarjana komplet. Aktif di sosial, budaya, perdamaian dan seni rupa juga," ucap Sutaryo.

Sedangkan menurut Rektor UGM, Panut Mulyono, penghargaan Pahlawan Nasional yang disematkan pada rektor pertama UGM ini merupakan sebuah kebanggaan bagi civitas akademika UGM.

"Semoga kita dapat meneladani semangat dan ketulusan almarhum dalam berjuang bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Almarhum Prof. Sardjito adalah ilmuwan pejuang dan pejuang ilmuwan," ungkap Panut. Nama Sardjito sendiri telah diabadikan oleh UGM menjadi nama rumah sakit. (mdk/gil)

HIROSHI MIYAMURA, ORANG JEPANG PENERIMA MEDAL OF HONOR DI PERANG KOREA


HIROSHI MIYAMURA,ORANG JEPANG PENERIMA MEDAL OF HONOR DIPERANG KOREA

Lahir 6 Oktober 1925 dan dibesarkan di Gallup, New Mexico, putra seorang imigran Jepang sebagai anak ke-4 dari 9 bersaudara. Ketika Amerika Serikat memasuki Perang Dunia II, Presiden Franklin D. Roosevelt memerintahkan relokasi dan pengasingan orang Jepang-Amerika karena kekhawatiran bahwa beberapa akan berubah menjadi pengkhianat. Namun, bagi masyarakat di luar “zona militer” pantai yang sensitif, hal ini tidak wajib, dan pemerintah daerah dapat memutuskan apa yang ingin mereka lakukan. Di Gallup, penduduk Jepang-Amerika dibiarkan bebas. Miyamura bergabung dengan militer pada tahun 1944 saat Perang Dunia II dengan Regimental Combat Team ke-442 yang terkenal, sebagai unit Jepang-Amerika yang menjadi unit yang paling banyak mendapat penghargaan untuk satuan sebesar itu dalam sejarah Amerika (selain Medal Of Honor, personel satuan ini setidaknya mendapat 47 Distinguished Service Crosse, 354 Silver Star, dan sekitar 3,600 Purple Heart). Tetapi Miyamura sendiri tidak sempat bertempur bersama satuan itu karena lima hari sebelum mendarat di Italia, perang usai.
Hershey dengan bangga pulang ke rumah bersama dengan satuan-442 yang gagah berani, kembali ke kota Gallup tempat ia berasalnya. Ia kemudian bekerja sebagai montir mobil, sekaligus bertugas di satuan cadangan Angkatan Darat. Dia menikahi kekasihnya pada Juni 1948, tepat sebelum pendaftarannya di satuan cadangan berakhir. Dan kemudian, menyadari sepenuhnya bahwa dengan melakukan pendaftaran ulang, pihak militer mungkin akan memanggilnya untuk bertugas aktif sewaktu-waktu. Hershey membuat pilihan untuk terus melayani negaranya.
Pada pukul 4:00 A.M. hari Minggu, 25 Juni 1950, hampir 100.000 tentara Korea Utara melintasi garis pararel 38 yang membagi kedua Korea terus melaju menyerbu ke Korea Selatan. Dalam beberapa hari, kejatuhan Korea Selatan tampaknya sudah dekat, namun kekalahan yang sudah didepan mata ini dalam sekejab berubah oleh pendaratan amfibi pasukan MacArthur pada 15 September di Inchon. Dengan otorisasi sebagai pemimpin pasukan PBB, MacArthur membalik keadaan yang tidak menguntungkan menjadi operasi ofensif yang tidak hanya mengusir pasukan agresor Korea Utara kembali ke negeri mereka. Tidak hanya mengusir, MacArthur kemudian memerintahkan tentaranya terus melaju melintasi garis DMZ menghancurkan pasukan Komunis yang tersisa hingga merebut ibukota Korut, Pyongyang tanggal 19 Oktober 1950. Cina tidak tinggal diam melihat sekutu komunis Korea nya ditaklukkan tentara MacArthur yang terus berbaris mendekati Sungai Yalu, batas negara Cina dan Korea Utara. Merespon “ancaman” ini, kemudian pada 26 November dengan tiba-tiba 200.000 tentara “sukarelawan” Komunis China melintasi Sungai Yalu.
Pada saat itu Hershey (yang telah dikirimkan ke medan perang Korea) dan pasukan senapannya bisa melihat dengan jelas aksi militer pasukan Cina “Aku bisa melihat mereka berkerumun di seberang sungai melalui teropongku,” kenang Hershey. Dia dan pasukannya segera mundur dengan dikejar waktu dan berhasil menumpang kapal terakhir yang berangkat dari Hungnam sebelum tentara Komunis menyerbu dan menghancurkan kota itu. Selama bulan-bulan berikutnya, pasukan Hershey dipindahkan dari satu tempat ke tempat, unit ke unit, untuk mendukung elemen-elemen infanteri yang berbeda-beda.
Hershey telah berada di garis depan hampir selama tujuh bulan terus-menerus ketika gabungan Pasukan PBB bersama-sama bergerak untuk merebut kembali Seoul. Selama kegelapan malam pada 22 April 1951, orang-orang Cina menyerang di sepanjang Sungai Imjin. Menjelang fajar, musuh yang banyak telah mendesak pertahanan pasukan Amerika, yang mulai mundur ke seberang sungai. Selama berjam-jam pagi itu, gelombang demi gelombang serbuan tentara Cina menghantam posisi Miyamura dan pasukannya. Jumlah mereka yang luar biasa langsung bergerak menuju posisi Miyamura ketika senapan mesinnya perlahan-lahan melenyapkan pasukan musuh, satu demi satu. Ketika amunisi mereka semakin menipis, Miyamura, yang mengarahkan tembakan para penembak senapan mesin, mulai menembakkan senapan karabinnya, dan melemparkan granat ke arah para penyerang, untuk kemudian memerintahkan pasukannya untuk memasang bayonet. Pada satu titik, orang-orang Cina mulai berusaha untuk menjepit sisa-sisa unit kecil ini, sehingga Miyamura memutuskan untuk menyerang – sendirian. “Tentara Cina telah dengan hati-hati bergerak ke atas lereng ketika Miyamura tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka,” kata Brig. Jenderal Ralph Osborne, kemudian. “Menusuk dan menebas, dia mencerai beraikan satu regu dan berbalik, mencerai-beraikan regu lainnya dengan cara yang sama.”
Dia kemudian kembali ke pasukannya dan mulai merawat yang terluka, tetapi dia segera menyadari posisinya sudah tidak ada harapan. Dia memerintahkan penarikan mundur. Ketika orang-orangnya bersiap untuk keluar, gelombang tentara Cina lainnya menyerang dan Miyamura segera pindah ke sebuah senapan mesin ditinggalkan dan menembakkannya sampai dia kehabisan amunisi. Dia merusak senapan mesin itu untuk menghindari jatuh ke tangan musuh dan segera bergabung dengan pasukannya yang bergerak mundur ketika orang-orang Cina kembali menyerang posisinya. Dengan menggunakan bayonet dia mencapai posisi senapan mesin lain dan menggunakannya untuk melindungi penarikan pasukannya sampai dia terpaksa berlindung di sebuah bunker dan terus bertempur. Di depan bunkernya kemudian ditemukan berserakan tubuh setidaknya 50 prajurit musuh.
Ketika pertempuran berakhir, Hershey menemukan dirinya sendirian. Sekarang dalam kondisi terluka di kaki oleh pecahan granat, dia kemudian berusaha kembali ke garis pertahanan Amerika waktu bertemu dengan pasukan Cina dan dalam pertempuran tangan kosong sampai, kelelahan dan dirinya melemah. Menjelang fajar, sang kopral yang kelelahan mendapati dirinya pura-pura mati di selokan ketika ratusan musuh berjalan melewati dirinya yang dalam posisi sujud di selokan. Salah satu dari mereka, seorang perwira Cina, tidak tertipu oleh tubuh berdarah itu. Sambil menodongkan pistol kaliber .45 nya, perwira itu bilang: “berdiri!” Hershey kemudian ditangkap.
Dia dan tahanan perang lainnya (POW) disuruh berjalan, Hershey sempat membantu temannya yang terluka Joe Annello untuk terus bergerak, tetapi tentara Korea Utara mengancam akan menembaknya jika dia tidak meninggalkan Annello di belakang. Tawanan perang yang disasar secara rutin sering dibunuh. Miyamura menolak, tetapi Annello sendiri meyakinkan Miyamura untuk meninggalkannya. Annello sendiri akhirnya selamat dari perang dan kemudian mengunjungi Miyamura di Gallup. Para POW dipaksa untuk berjalan 300 mil (480 km) selama lima minggu dengan sedikit makanan.
Kehidupan di kamp POW sangat sulit. Bukan hanya makanan dan tempat tinggal yang begitu primitif, yang lebih mengerikan adalah penyiksaan dan pencucian otak yang konstan dilakukan para penahan. Hershey telah menyaksikan banyak rekan seperjuangannya mati pelan-pelan, karena siksaan atau penelantaran oleh para penahan mereka. Tubuhnya sendiri menderita disentri dan berat badannya turun 50 pound, kondisi yang mengerikan bagi seorang pria yang bertubuh kecil. Sebagai seorang tentara keturunan Jepang-Amerika, orang Korea Utara memiliki kebencian khusus terhadap pemuda dari Gallup, New Mexico ini (Orang Korea punya kebencian historis pada orang Jepang). Pada hari pembebasan, meski bobot tubuhnya menyusut hingga kurang dari 100 pon, akhirnya Hershey merasa dia telah selamat dari kebencian dan penyiksaan para penahannya dan bisa melihat istri dan keluarganya yang masih muda sekali lagi.Saat itu tanggal 23 Agustus 1953, Hershey bersama 19 POW lainnya dikawal oleh para penahannya melewati kerumunan POW di Freedom Village dekat Panmunjom untuk menjalani pertukaran tawanan perang. Dari para pejabat yang menunggunya, Hershey mendengar suara yang kuat berujar, “Apakah Anda Kopral Hiroshi H. Miyamura?” kemudian Hershey melihat didepannya prajurit berseragam Perwira Tinggi Angkatan Darat Amerika Serikat. Sejenak pikirannya melayang sambil bergumam: “inilah dia…”, pikirnya sebentar lagi menunggu pengadilan yang telah lama ditakutinya. Baginya tidak ada lagi waktu untuk menghindar, Nisei muda ini akhirnya mengangguk mengiyakan. Yang mengejutkannya, sang jenderal mengulurkan tangannya dengan pengumuman yang mencengangkan, “Selamat. Anda telah dianugerahi Medali”. kata Brig. Gen. Ralph Osborne.
Kekhawatiran akan dihadapkan pada pengadilan militer sama sekali tidak berdasar, Hershey malah dianugerahi Medali Medal Of Honor atas aksinya. Penghargaan itu awalnya dirahasiakan karena takut akan adanya pembalasan dari musuh, sehingga hanya sedikit yang tahu tindakan Hershey di bukit Korea yang sunyi sepi itu. Jadi dengan sedikit terkejut Miyamura diberi tahu oleh Jenderal Osborne tentang MOH-nya. “Apa?” dia dilaporkan mengatakan. “Aku telah dianugerahi medali apa?”
Pada 27 Oktober 1953, Sersan Miyamura saat itu – dia dipromosikan pangkatnya saat dalam penahanan – menerima penghargaan dari Presiden Dwight Eisenhower di Gedung Putih dan kembali ke kota Gallup di mana sekolah-sekolah dan aktivitas bisnis kota diliburkan, 5.000 orang menyambutnya ketika dia turun dari kereta. Warga kota Gallup mendedikasikan hari itu sebagai “Hari Hiroshi Miyamura.”
Miyamura menikahi Terry Tsuchimori. Dia memiliki tiga anak dan empat cucu, dengan salah satu cucunya, Marisa, menjadi seorang perwira di Angkatan Udara Amerika Serikat. Dia tetap tinggal di Gallup, New Mexico, sejak keluar dari Angkatan Darat, di mana ia membangun karier sebagai mekanik mobil dan pemilik bengkel. Miyamura tetap aktif dalam mendukung sesama veteran termasuk bekerja dengan Wounded Warrior Project. Pada Memorial Day 2018, kisahnya ditampilkan selama Konser National Memorial Day di Mall di Washington, DC. Sebagai pengakuan atas kegiatan Miyamura yang banyak melibatkan kaum muda di komunitasnya, ia menerima 2014 Director’s Community Leadership Award dari divisi FBI Albuquerque. Di kota asalnya, Gallup, New Mexico, sebuah daerah diberi nama Miyamura untuk menghormatinya, seperti halnya SMA Hiroshi H. Miyamura dan Miyamura Overpass, sebuah persimpangan pada jalur I-40.
(Sejarahmiliter)

CORNELIS DE HOUTMAN


CORNELIS DE HOUTMAN

Adalah pelaut Belanda yang menginjakkan kakinya di Banten pada 27 Juni 1596. Awalnya ia tertarik untuk datang ke Tanah Air karena sempat mendengar kabar keberadaan pulau yang kaya raya akan penghasilan alamnya, termasuk rempah-rempah, yang terletak di belahan dunia bagian timur.
Pada 2 April 1595, Cornelis memulai pelayaran perdananya menuju Nusantara dengan membawa empat kapal dagang. Dalam perjalanan menuju Tanah Air, ABK Cornelis banyak yang mati. Penyebabnya karena kekurangan makanan, konflik internal dan iklim tropis.
Armada Cornelis baru sampai di pulau Banten pada 27 Juni 1596. Menurut catatan sejarah, ada sekitar 249 orang yang masih hidup sampai tujuan selama perjalanan tersebut. Mereka awalnya disambut dengan baik oleh warga Banten. Namun lama kelamaan, mereka mulai bertingkah seenaknya sehingga memaksa otoritas keamanan Banten untuk meringkus sebagian dari mereka. Hingga akhirnya Cornelis dan rombongan dagangnya diusir dari Banten.
Setelah diusir, mereka melanjutkan ekspedisinya di sepanjang garis Pantura pulau Jawa. Tak ada bosannya berlaku reseh dan membuat onar, mereka kembali membuat masalah. Beberapa orang diringkus karena kematian Pangeran Madura dan Cornelis pun terpaksa merogoh kocek buat menebus anak buahnya.
Hingga akhirnya mereka kembali dengan selamat di negeri Belanda. Tidak diketahui secara jelas berapa awak yang masih tersisa, namun Cornelis kembali melakukan perjalanan yang kedua menuju Nusantara.
Pada tahun 1599, dia dan armadanya mendarat di Aceh. Namun mereka harus berhadapan dengan pasukan Inong Balee. Cornelis meregang nyawa di tangan Laksamana Malahayati setelah mereka berdua terlibat duel yang sengit.
Walau usahanya untuk mendapatkan rempah-rempah gagal, tapi usaha Cornelis tidak sia-sia. Ekspedisinya tersebut menjadi inspirasi para pedagang Belanda yang lain untuk berdatangan ke Nusantara. Dari sinilah awal mula Tanah Air kita dijajah Belanda dan berdirinya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)

DJIAW KIE SIONG


Djiaw Kie Siong (meninggal tahun 1964) adalah pemilik rumah di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, tempat Bung Karno dan Bung Hatta diinapkan oleh para pemuda (Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni.) yang menculik mereka dan menuntut agar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan segera. Di rumah ini pula naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditulis.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Reynaldi David Abner dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Michelle Margo itu. Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka.
Ketika naskah proklamasi akan dibacakan, tiba-tiba pada Kamis sore datanglah Ahmad Subardjo. Ia mengundang Bung Karno dkk. berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56.
Selain kedua "Bapak Bangsa" itu, rumah itu ditinggali pula oleh Sukarni, Yusuf Kunto, dr. Sutjipto, Ibu Fatmawati, Guntur Soekarnoputra, dan lainnya selama tiga hari, pada 14 - 16 Agustus 1945.
Djiaw adalah seorang petani kecil keturunan Tionghoa. Ia merelakan rumahnya ditempati oleh para tokoh pergerakan yang kelak menjadi "Bapak Bangsa". Hingga kini rumahnya masih dihuni oleh keturunannya.
Babah (sebutan untuk laki-laki Tionghoa) Djiaw pernah berwasiat, keluarga yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar. Tak dibolehkan merengek minta-minta sesuatu kepada pihak mana pun. Bahkan, harus rela setiap hari menunggui rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa.
Djiaw meninggal dunia pada 1964 dan namanya praktis hampir tidak dikenal ataupun tercatat dalam sejarah. Mayjen Ibrahim Adjie pada saat masih menjabat sebagai Pangdam Siliwangi, pernah memberikan penghargaan kepada Djiaw dalam bentuk selembar piagam nomor 08/TP/DS/tahun 1961.

Tuesday, November 26, 2019

ISTRI PERTAMA BUNG KARNO


Ketika menikahi putri H.O.S. Tjokroaminoto, Siti Oetari, pada 1921, usia Bung Karno belum genap 21 tahun. Sementara Oetari sendiri baru 16 tahun. Perkawinan tersebut lebih tampak sebagai usaha Bung Karno untuk meringankan beban duka Tjokroaminoto yang istrinya, Soeharsikin, tutup usia pada 1919, daripada kehendak Bung Karno sendiri untuk berumah tangga.

Meski demikian, bukan berarti Bung Karno tidak mempunyai perasaan sama sekali pada Oetari. Saat masih berindekos di rumah Tjokroaminoto di Gang 7 Paneleh, Surabaya, Bung Karno sering mendekati Oetari. Suatu hari ketika mereka tengah duduk berdampingan, Bung Karno bertanya, "Lak, tahukah engkau bakal istriku kelak?" Oetari hanya menggeleng menanggapi pertanyaan itu. Bung Karno kembali bertanya, "Kau ingin tahu?" Sedikit penasaran, Oetari pun menyahut, "Di mana?" Bung Karno menjawab, "Kau ingin tahu? Boleh. Orangnya dekat sini. Kau tak usah beranjak karena orangnya ada di sebelahku."

Sayang, pernikahan keduanya tidak berlangsung lama. Pada 1923, oleh karena merasa tidak cocok dengan Oetari yang cenderung masih kekanak-kanakan, secara baik-baik Bung Karno mengembalikan istri pertama yang belum pernah disentuhnya itu kepada keluarga Tjokroaminoto.

LETNAN KOMARUDDIN


Berhenti jadi Tentara, Kolonel Sakti Kebal Senjata Ini Pilih Jadi Preman Pasar Paling Ditakuti

Nama Letnan Komaruddin sangat dikenal dalam sejarah ketentaraan Indonesia.

Bahkan dimasukkan sebagai salah satu karakter di film Janur Kuning.

Saat Serangan Umum 1 Maret 1949, ia pernah membuat kesalahan fatal, tetapi justru berhasil mengecoh Belanda.

Ia juga dikenal memiliki kesaktian, yang sulit diterima logika. Beberapa prajurit menyaksikan sendiri bagaimana kesaktian yang dimiliki oleh Komaruddin. Kebal terhadap senjatab apapun termasuk peluru.

Saat ia dan prajurit lainnya dikepung Belanda lengkap dengan senjatanya, secara tiba-tiba mereka bisa menghilang seolah tak terlihat.

Padahal bila dinalar, mereka tidak mungkin bisa kabur begitu saja.

Letnan Komaruddin : Opsir Kebal Peluru

Bagi generasi 90-an, tentu akrab dengan sejumlah film bertema perjuangan.

Salah satunya yang cukup terkenal adalah film Janur Kuning yang konon film wajib ditonton di sejumlah sekolah pada era 1980-an.

Penulis buku seri sejarah, Hendi Jo seperti dikutip darinya buku Orang-Orang di Garis Depan', terbitan Matapadi Presindo, Cetakan ke dua 2019 halaman 66 menulis, dalam film Janur Kuning ada tokoh "pejuang selon" yang diperankan oleh aktor Amak Baldjun.

Digambarkan dalam film tersebut, saat adegan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta tanpa mengenal memburu serdadu-serdadu Belanda yang melakukan gerakan mundur seraya menembakkan senjata-senjata mereka ke arah gelirlyawan TNI berbaret hitam.

Masih dari kutipan buku yang sama, dalam sejarah Perang Kemerdekaan di Yogyakarta, sejatinya tokoh ini memang benar-benar ada.

Namanya Letnan Komaruddin. Jabatannya waktu itu komandan peleton di SWK 101, Brigade X pimpinan Mayor Sardjono (anak buah Letnan Kolonel Soeharto).

Di kalangan anak buahnya, mantan prajurit PETA di Kalasan ini terkenal sebagai anti kogel/tahan peluru.

Bahkan saking saktinya, kekebalan Komaruddis akan peluru konon bisa melindungi orang sekitarnya dalam radius 10 meter dari dirinya.

Rupanya "kesaktian" Letnan TNI Komaruddin tidak muncull begitu saja.

Sebagai pejuang pemberani, ia disebut- sebut masih memiliki hubungan darah dengan Kyai Abdur Rahman (sebagai cicit) yang dikenal sebagai Mbah Tanjung.

Mba Tanjung, salah seorang ulama terkemuka yang hidup di Ploso Kuning Minomartani, Sleman pada era kekuasaan Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792).

Ia pun diyakini merupakan keturunan langsung Bantengwareng, salah seorang panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro.

Karena keturunan orang-orang sakti itulah, banyak dipercaya anggota pasukanya, ia kebal terhadap senjata apapun.

Begitu populernya nama Komaruddin hingga di wilayah Sleman, ada sebuah masjid yang disemati namanya: Masjid Al Komaruddin.

Sebelum bergabung dengan Soeharto, usai dari PETA, Komaruddin memang pernah bergabung dengan Lasykar Hizboellah setempat.

Banyak kawan-kawannya mengenal Komaruddin sebagai sosok yang jenaka, selon, pemberani namun sedikit agak sentimentil jika disentuh sisi-sisi kemanusiannya.

Salah satu contoh, saat Panglima Besar Soedirman (dalam suatu pemeriksaan pasukan usai turun gunung) menasehati, mengkritik sekaligus memuji serangan 'salah lihat kalender"nya pada 28 Februari 1949, ia langsung terisak-isak menangis sambil terbata-bata berujar: "Siap Panglima! Saya tak akan mengulanginya!"

Peleton yang dipimpin Letnan Komaruddin memang dikenal sangat berani dan sering mengacak-acak pertahanan militer Belanda di dalam kota Yogyakarta.

Begitu disegani namanya hingga pihak intelijen militer Belanda (NEFIS) pernah menjadikannya buronan.

Menurut sejarawan militer Moehkardi, konon penyerangan militer Belanda ke dukuh Plataran pada 24 Februari 1949 ( yang menimbulkan korban tewas beberapa kadet Akademi Militer Yogyakarta) adalah salah satunya dalam rangka mencari dirinya, yang memang saat itu ia sedang berada di dekat dukuh tersebut.

Lantas bagaimana nasib Komaruddin seusai Memang jarang sumber-sumber sejarah yang memberitakan keberadaannya pasca penyerahan kedaulatan.

Kecuali  satu sumber dalam buku 'Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi' Yogya oleh Daud Sinjal.

Di situ dituliskan tentang, tuduhan sebagian kalangan militer kala itu yang menyebut dia terlibat dalam gerakan DI/TII.

Menurut Priyanto (59), sangkaan itu muncul kala komp Komaruddin (saat itu berpangkat kapten) pada tahun 1950-an, dikirim ke Malangbong, Garut untuk menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI TII) pimpinan Sekar Maridjan Kartosoewirjo.

Alih-alih berperang, di Garut Kompi Komaruddin malah kerap ngopi bareng" dengan pasukan DI/TII.

Rupanya Komaruddin merasa jengah berperang dengan para gerilyawan yang sebagian merupakan rekannya saat aktif di Hizboellah.

Malah di antaranya ada juga yang pernah satu perguruan dengannya saat belajar agama dan kanuragaan.

"Akibatnya Mbah Komar dan pasukannya ditarik kembali ke Yogya dan sesampainya di markasnya langsung dipere TII secara massal" ujar lelaki yang masih termasuk cucu dani Komaruddin tersebut.

Dalam bukunya, Daud Sinjal menuliskan ternyata setelah diselidiki tuduhan itu sama sekali tidak benar.

Nama Komaruddin kemudian direhabilitasi dan ia aktif kembai di ketentaraan. Namun sepertinya upaya rehabilitas  tak otomatis membuat karir ketentaraannya menanjak.

Dikisahkan beberapa saat setelah ia mendapat rehabilitasi dan ia aktif kembali di ketentaraan secara resmi.

Usai tidak aktif di ketentaraan, pada 1960-an, Komaruddin memilih dunia jalanan sebagai jalur hidupnya.

Di Yogyakarta, namanya terkenal sekaligus disegani sebagai "preman berhati "Tempat tongkrongan favoritnya di samping pabrik susu SGM," ujar Amiruudin, putra kedua dari Komaruddin.

Sekitar tahun 1969, Komaruddin secara misterius tiba-tiba menghilang dari Yogyakarta. Soetojo alias Boyo (buaya), seperjuangannya waktu melawan Belanda, lantas mencarinya hingga ke Jakarta setahun kemudian.

Di ibukota Boyo menemukan Komaruddin di wilayah Cempaka Putih.

Ia tinggal di sebuah gubuk kecil yang terletak di tengah-tengah rawa (tanah milik Kodam V Jaya?)

Ia menghidupi kesehariannya dengan bekerja sebagai seorang preman yang ditakuti di wilayah Pasar Senen.

Baik teman Amiruddin menduga keberadaan Komaruddin di Jakarta atas sepengetahuan Presiden Soeharto, yang merupakan mantan komandannya di Yogyakarta.

"Buktinya, saat tinggal di rawa terletak di Cempaka Putih itu, tiap bulan secara rutin yang ia kerap mendapatkan jatah beras bagian untuk tentara..." ujar lelaki kelahiran Yogyakarta pada 1962 tersebut.

SIAPA PRIBUMI ASLI INDONESIA YANG SEBENARNYA?


Siapa Pribumi Asli Indonesia yang Sebenarnya? Sejarah Telah Menjawab!

Menjawab perdebatan yang menimbulkan perpecahan di dunia maya tentang pribumi Indonesia, kita akan membahas sedikit mengenai sejarah Bangsa Indonesia. Bangsa kolonial meninggalkan banyak sekali hal dalam peradaban kita, Indonesia. Mulai dari bangunan dan benda-benda kuno, kurikulum sampai warung tegal yang bisa kamu jumpai di mana-mana. Selain itu ada satu peninggalan kolonial dalam bentuk pemahaman yang ternyata masih melekat di masyarakat Indonesia sampai sekarang, yaitu konsep “pribumi”.

Sungguh membuat banyak orang gerah ketika kata "pribumi" ini masih dipermasalahkan dan didebatkan, padahal Indonesia telah merdeka dari yang memberikan istilah tersebut. Mengerikannya lagi, istilah ini menjadi senjata pemecah yang digunakan sesama saudara sebangsa sendiri yang harusnya saling kompak bersatu tanpa pandang atribut masing-masing.

Hal ini semakin diperparah dengan makin meluasnya literasi digital, tapi tidak diikuti "literasi" moral, empati dan toleransi tentang makna "pribumi" tersebut. Kalau ditelaah secara bahasa, kata “pribumi” berdasarkan KBBI berarti penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Lalu siapakah pribumi Bangsa Indonesia yang sebenarnya? Berdasarkan sejarah dan pernyataan para ahlinya, semua akan dibahas secara lengkap di sini!

1. Seperti apa pengertian pribumi oleh masyarakat awam Indonesia dan bagaimana penyikapan mereka terhadap itu?

Yang dimengerti secara kilat, kaum pribumi atau orang asli Indonesia dalam pandangan masyarakat adalah suku seperti Jawa, Batak, Minangkabau, Bali, Dayak, Papua dan masih banyak suku lainnya yang telah kita pelajari dari SD, termasuk di dalamnya ada baju adat, lagu daerah dan atribut lainnya.

Sementara itu orang-orang keturunan Arab, Tionghoa, India yang cukup banyak ditemukan di Indonesia masih sering dianggap “asing” atau “pendatang”. Padahal mereka bukan sekedar lahir dan besar di Indonesia, melainkan juga memegang budaya dan menggunakan Bahasa Indonesia. Anggapan yang nampaknya sepele ini ternyata mampu menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan sosial yang disangkutpautkan banyak hal, terutama politik.

Berdasarkan pernyataan Ibu Herawati Sudoyo selaku Deputi Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam wawancaranya dengan Tempo Media, pribumi adalah orang yang menghuni suatu kawasan sejak lama, sementara penduduk yang saat ini mendiami Indonesia berasal dari beberapa titik migrasi. Kita semua bersaudara dan gak ada darah yang murni.

2. Beberapa dari kamu yang sering mengaku sebagai orang Indonesia asli sering gak sadar bahwa seluruh suku yang ada di Indonesia sebenarnya termasuk bangsa pendatang, sesuai bukti prasejarah yang ada

Manusia modern baru masuk ke tanah air pada Era Pleistosen. Nah, manusia pendatang ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu Melanesia dan Austronesia. Orang Melanesia datang sejak 50.000 tahun lalu.

Melanesia mayoritas berasal dari Afrika dan biasanya bermata biru, menandakan bahwa sebenarnya hampir gak ada satupun dari kita saat ini yang merupakan “pribumi” sejak awal, kecuali campuran dan gennya telah berkembang.

Migrasi kedua sekitar 16.000-35.000 tahun lalu dari Indocina masuk ke Nusantara lewat jalur darat. Setelah itu disusul orang Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu dari Formosa ke bagian barat dan timur Nusantara. Akhirnya mereka semua berkembang menjadi berbagai suku yang kita kenal saat ini.

3. Jauh setelah Austronesia dan berbagai variasi di dalamnya, datanglah tiga bangsa ke nusantara secara berurutan, yaitu: India, Tionghoa kemudian Arab

Pada abad ke-3 sampai sekitar 2000 tahun lalu, masyarakat di Nusantara menjalin hubungan dengan India lewat perdagangan logam dan rempah-rempah. Dari sinilah kebudayaan India dalam Hindu-Buddha masuk ke Nusantara.

Setelah itu, Nusantara menjalin hubungan dengan Dinasti Tiongkok daerah selatan. Berdasarkan data dari Paguyuban Nasional Marga Tionghoa, tahun 907, I Ching, seorang Bhiksu Buddha berkelana lewat laut ke Nusantara dan India. Menurut catatan I Ching, ketika ia ke sana sudah ditemukan koloni orang Tionghoa di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem dan Banten (menandakan telah ada orang Tionghoa sebelumnya).

Pada abad ke-15 (Masa Dinasti Ming) sekitar tahun 1407, Nusantara kedatangan Laksamana Cheng Ho yang mendarat di Sambas dan Palembang, kemudian membangun peradaban Islam di tempat-tempatnya berkelana. Laksamana Cheng Ho berlayar ke Indonesia dengan tujuan menjalin persahabatan, alih teknologi, perdagangan dan penyebaran Islam. Di tahun 1474, dikenallah wali songo yang lima di antaranya merupakan campuran etnis Tionghoa melanjutkan penyebaran Islam di Nusantara.

Bangsa Arab pun secara perlahan datang menjalin kerja sama perdagangan. Tahukah kamu ternyata hubungan antar budaya ini menghasilkan banyak perkawinan silang.

Orang-orang asing ini pun bisa jadi adalah generasi leluhur di atas kita yang tercampur darah dan gennya satu sama lain. Data terbaru menyatakan, gen masyarakat Indonesia saat ini adalah 74 persen Asia Tenggara dan Oseania, 9 persen Asia Selatan, 5 persen Asia Timur, 6 persen Arab dan 6 persen Afrika.

4. Baik itu keturunan Austronesia maupun "pendatang" semua telah berbaur dan menciptakan generasi baru sebagai satu keutuhan Nusantara, kemudian persatuan tersebut dipecahkan oleh bangsa kolonial asal Eropa yang mendoktrin istilah "pribumi"

Mulanya orang Nusantara dan “pendatang” hidup berdampingan dengan damai. Sayangnya pemerintah Eropa mulai menggolongkan dan membedakan orang satu sama lain berdasarkan asal usul etnisnya.

Secara kasar, orang Eropa menempatkan diri sebagai golongan yang paling atas secara kehormatan dan kedudukan, disusul oleh orang-orang Timur seperti Arab, Tionghoa dan India. Sementara orang-orang yang mereka sebut “pribumi” ditempatkan dalam posisi yang paling bawah.

Alhasil masyarakat Nusantara yang merupakan “campuran” turut menderita karena gak jelas masuk golongan mana. Perpecahan ini dilahirkan bangsa kolonial untuk membuat kekuatan masyarakat Nusantara melemah.

Walau bangsa kolonial menggoyahkan mereka dalam pelevelan, beberapa multi-golongan dari mereka tetap bersatu untuk melakukan banyak perlawanan. Meski akhirnya gagal karena gak semuanya bersatu sebagai Nusantara seutuhnya dan masih termakan paham perbedaan yang ditanamkan bangsa kolonial.

6. Para pejuang kemerdekaan Indonesia telah berupaya membuat negara mengakui bahwa siapapun yang bertempat tinggal, berbudaya dan berbahasa Indonesia adalah Warga Negara Indonesia

Hal tersebut memang dirusak kembali di rezim orde baru, tapi kembali dipersatukan oleh Gus Dur. Menjelang masa kemerdekaan, tokoh seperti Tjiptomangunkusumo, Amir Syarifudin dan Soekarno memperjuangkan agar masyarakat Nusantara dan “golongan kedua” diperhitungkan sebagai orang Indonesia tanpa terkecuali. Dengan catatan, mereka sudah berbudaya, menetap dan berbahasa Indonesia.

Menyedihkannya, konsep persatuan ini cuma bertahan sampai tahun 1965 akibat di era orde baru digolongkan lagi antara “pribumi” dan “non-pribumi”. Akibatnya orang-orang yang berbudaya ‘campuran’ sesuai etnisnya harus beradaptasi dalam level ekstrem, misalnya sampai perlu mengganti namanya.

Akhirnya dalam waktu 30 tahun, rezim orde baru berakhir. Konsep “pribumi” dan “non-pribumi” dihapuskan oleh Gus Dur karena itu adalah diskriminasi. Itu berlaku hingga saat ini. Jadi, sekarang sudah gak waktunya lagi meributkan soal asal usul dan perbedaan satu sama lain.

Mengingat bahwa semua yang tinggal, berbudaya dan berbahasa Indonesia adalah Warga Negara Indonesia, maka sudah gak zamannya lagi kita mempermasalahkan "pribumi" dan "non-pribumi". Seperti yang sudah dijelaskan, karena gak satupun dari kita adalah penghuni asli atau darah murni sejak awal Nusantara ada.

Jadi, jangan lagi berpikiran kuno atau primitif seperti itu ya. Tanpa perlu mengadakan Sumpah Pemuda lagi, mari kita bersama berjuang mengharumkan nama Indonesia, gak peduli siapapun kita dan apapun latar belakang kita. Hidup Indonesia! #SatuIndonesia

Penulis : Bayu D. Wicaksono
Sumber : Idntimes.com