Friday, November 29, 2019

ISLAM DI KUDUS (ABAD 16 - 19 M)


ISLAM DI KUDUS ( abad 16 - 19 M )  ; ANTARA PERSPEKTIF BELANDA DAN HIKAYAT RAKYAT. 

Oleh:  Makhin Ahmad

Sejarah Kudus berangkat dari hijrahnya Sunan Kudus ke daerah Tajug yang berada di kawasan Pulau Muria. Dalam buku "The Islamic State of Java", Th. Pigeaud dan D.J. De Graf pernah menulis bahwa pasca hijrah ke pulau muria, Sunan Kudus berhasil membangun kota keagamaan yang hari ini bernama Kudus. Menurut tradisi lisan, kawasan tsb berada di sebelah barat sungai Gelis.  Istilah "Kota keagamaan" yang dipakai oleh D.J. De Graf ini-lah yang tentunya sangat menarik untuk kita dalami.

Dua sejarawan gaek di atas tidak menjelaskan gambaran yang rinci tentang kota islam yang baru ini. Dia hanya menulis bahwa kota di kawasan pulau Muria itu, seperti kota Pati, Jepara dan Juwana, adalah kota kecil dibanding Demak yang banyak ditumbuhi pohon-pohon jati. Kawasan pulau Muria pada abad 16 umun-nya menjadi pemasok beras ke kawasan Demak. Sebagaimana diketahui, Demak saat itu adalah kota terpenting di Jawa dan dihuni tak kurang dari 7 ribu orang.

Tome Pires di dalam bukunya "Suma Oriental" juga tidak banyak memberi informasi tentang islam di Kudus. Agen Portugis yang datang ke Jawa pada paruh pertama abad 15 M itu justru malah banyak berbicara tentang Jepara, Demak, Pati, atau Cajongan (Juwana). Hal ini bisa dimaklumi karena Kudus saat itu belum ada. Kudus sendiri baru berdiri sesudah kedatangan Pires, yakni pada tahun 1549 M. (Hitungan berdasarkan prasasti Menara).

Meski demikian, Tome Pires sempat menyebut lokasi Kudus berada, yakni kawasa gunung Muria. Ia juga menulis tentang adanya selat yang memisahkan Demak dengan kepulaun Muria, yang katanya bisa dilalui kapal-kapal besar hingga ke daerah Rembang. Apa yang disampaikan Pires ini, agaknya bisa diperkuat dengan cerita rakyat desa Jepang - Mejobo. Menurut tradisi lisan daerah tsb dulunya adalah rawa-rawa. Arya Jipang yang diyakini sebagai cikal bakal daerah tsb, dulu sempat menambatkan perahunya di daerah tsb saat hendak menemui Sunan Kudus. 

Sebelumnya Tome Pires juga telah menggambarkan kondisi sosial pesisir utara jawa secara umum. Menurutnya, di Pesisir utara Jawa saat itu banyak terdapat pedagang asing dari Arab, Persia, Gujarat, dan Cina. Apa yang disampaikan Tome Pires ini, jika kita tarik lebih jauh sebenarnya punya akar sejarah yang kuat. Apalagi secara geografis, laut Jawa saat itu merupakan jalur sutra perdagangan internasional. Wajar bila kemudian banyak pedagang asing di sepanjang pesisir tsb, terlebih pasca jatuhnya Malaka ke tangan VOC yang membuat para pedagang harus mencari lahan baru.

Tome Pires tidak menggambarkan secara rinci tentang kondisi islam di pesisir utara pada masa itu. Namun ia bilang bahwa orang asing itu, selain berdagang juga berdakwah dan membangun masjid. Pertanyaan kita : Apa nama masjid tsb dan ada di daerah mana ? Tidak ada informasi yang jelas. Hanya menurut tradisi lisan,  terdapat sebuah masjid di Demak yang usianya lebih tua dibanding masjid agung yang dibangun Wali songo. Konon, masjid ini dibangun oleh saudagar Palembang. Laporan ini kalau bisa dipastikan kebenarannya, agaknya akan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh utusan Portugis tsb.

Berbicara soal sejarah berdirinya kota Kudus tentu tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa hijrah-nya Sunan Kudus dari Demak ke kepulauan Muria. Peristiwa ini-lah yang kemudian tercatat oleh sumber-sumber Belanda, dan dianggap menjadi titik awal lahirnya kota "keagamaan" yang baru sebagai pecahan dari Demak. Pasca hijrah tidak saya temukan catatan rinci tentang kehidupan Sunan Kudus ini. Sumber-sumber yang ada justru lebih sering menyoroti kiprah beliau saat masih aktif di Demak.

Sedikit laporan yang bersumber dari Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Sunan Kudus membawa murid-muridnya saat hijrah ke kepulauan Muria. Tak ada catatan siapa murid yang dimaksud itu. Namun diriwayatkan beberapa nama orang yang pernah belajar kepada beliau, seperti Aryo Penangsang (Adipati Jipang), Sunan Prawoto (Raja Demak pasca Trenggono), dan Ratu Kalinyamat. Di dalam tradisi lisan masyarakat Dema'an juga disebut bahwa Pangeran Puger pernah berguru kepada beliau. 

Terlepas dari pro-kontra di atas, yang jelas agama islam pada saat itu (abad 15) sudah menyebar ke berbagai pelosok kaki gunung Muria. Dalam artian bahwa islam tidak hanya dianut oleh penduduk sekitar Menara saja -- sebagai pusat islam Kudus saat itu -- tapi juga telah dianut di berbagai kawasan lain. Beberapa hikayat rakyat, adanya makam-makam tua dan temuan arkeologis mengindikasikan tepri ini. Apalagi saat itu banyak delegasi kerajaan Demak lainnya yang telah menyebarkan islam di berbagai penjuru pulau Muria.

Sekitar tahun 2010 pernah ditemukan beberapa makam tua di daerah Loram (kecamatan Jati) yang diperkirakan berasal dari abad 15 M. Posisi makam yang menghadap ke barat, memberi indikasi kuat bahwa itu adalah makam islam. Hal ini jelas memberi informasi adanya pemeluk islam di kawasan tsb sejak zaman dulu. Apalagi pernah ada laporan serupa yang seingat saya pernah didasarkan pada penelitian Agus Sunyoto.

Beberapa simbol islam, khususnya masjid yang dibangun pada abad 16 setidaknya juga masih eksis sampai hari ini. Sejarawan belanda seperti De Graff, Pigeaud dan Denys Lombard pernah menyebut masjid Al-Manar atau Al-Aqsha. Berdasarkan prasasti yang ada, masjid ini memang selesai dibangun pada masa Sunan Kudus. Yakni tahun 1549 M. Sejauh penelusuran saya, hanya masjid ini-lah yang disebut para sejarawan belanda itu. Hal ini seolah mengindikasikan bahwa islam di Kudus saat itu hanya ada di daerah Menara saja. Padahal tidak demikian.

Dalam tradisi lisan masyarakat misalnya, saat itu juga sudah ada beberapa masjid di Kudus. Diantaranya masjid Madureksan di sebelah selatan masjid Menara. Masjid ini bahkan dianggap lebih tua dari masjid menara. Di bagian timur, tepatnya di daerah Jepang - Mejobo terdapat masjid wali yang oleh masyarakat diyakini dibangun pada periode ini. Di daerah Loram - Jati juga terdapat masjid Wali yang didirikan pada abad 16 ini. Dalam tradisi lisan masyarakat, Sunan Kudus menjadi pelopor berdirinya masjid ini. Sementara di daerah Jekulo, juga ada masjid yang kini bernama Baitus Salam. Dalam catatan para Kyai sepuh setempat, nama Sunan Kudus juga disebut sebagai salah satu pelopor pendirian masjid ini.

Apalagi jika kita membicarakan fakta menarik tentang jaringan makam-makam tua di Kudus. Yang biasanya mereka ini berafiliasi ke Sunan Kudus, Sunan Muria atau bahkan diantaranya ke Demak. Baik dalam hubungan guru murid, prajurit perang, atau abdi dalem. Berdasarkan tradisi lisan yang ada, jaringan itu terutama jaringan guru - murid, menggambarkan sebuah teori yang menarik, bahwa dakwah kedua Sunan tsb -- kemungkinan juga Sunan lainnya -- merupakan sebuah program yang telah disusun sistematis. Dalam artian para Sunan tsb tidak sendirian di dalam mengemban misi dakwah tsb, melainkan juga mengerahkan para muridnya yang dikirim ke berbagai daerah.

Sebut saja Sunan Muria. Dalam hikayat rakyat, ia mengirim murid-muridnya ke berbagai desa. Seperti Mbah Jaelani ke daerah Garung - Kaliwungu. Atau Mbah Abdul Jalil ke ke daerah Jekulo yang juga berafiliasi ke Demak sebagai salah satu panglima perang.  Atau misalnya Pangeran Poncowati yang di makamkan di belakang masjid Menara. Dugaan di atas semakin kuat bila kita menengok tradisi lisan masyarakat Loram yang percaya bahwa penyebar islam di kawasan tsb adalah sultan Hadirin yang diutus oleh Sunan Kudus secara langsung.

Berbicara peran orang-orang cina di Kudus, lagi-lagi berdasarkan tradisi lisan, kita juga akan mendapati jaringan cina muslim di Kudus dan secara umum di pesisir utara Jawa. Pada abad 16 M ini, secara umum sumber-sumber belanda juga pernah menyebut komunitas Cina di pesisir utara. Di Kudus sendiri, tercatat nama-nama cina yang berjasa menyebarkan islam. Sebut saja Sunan Telingsing ( guru Sunan Kudus) dan ayahnya, Sun Ging An. Tokoh terkait -- terlepas benar adanya -- adalah penyebar islam di Kudus sebelum kedatangan Sunan Kudus. Namun sayangnya, tidak ada dokumen tertulis yang menjelaskan sosok ini. Sumber lisan hanya menyebut ia berafiliasi kepada Ceng-Ho.

Anak buah Ceng-Ho ini -- dalam tradisi lisan -- juga terlacak jejaknya di kawasan Loram - Jati. Sultan Hadirin yang oleh masyarakat setempat pernah menyebarkan islam di kawasan tsb, kabarnya ditemani seorang keturunan Cina bernama Tji Wie Gwan. Menurut masyarakat, tokoh cina terkait selain ikut menyebarkan islam, juga membuat gapura masjid yang bisa kita lihat sampai sekarang. Tokoh cina juga terlacak di daerah Ngembal rejo. Orang tsb bernama Cong-He, dan sekarang namanya dijadikan nama desa daerah tsb. Namun sekali lagi, kami tidak bisa memverifikasi kebenaran cerita-cerita tsb.

Pada abad 17 M atau era kepemerintahan Mataram, lagi-lagi tidak ada catatan rinci tentang Kudus yang bisa kita tampilkan. Secara politis, juga tidak ada laporan tentang jejak siapa penerus pemerintahan. Sumber belanda menulis, bahwa penerus Sunan Kudus ketiga melarikan diri ke jawa timur. Hal ini dipicu karena persoalan politik. Lagi-lagi tidak diketahui kemana ia lari, namun kemungkinan ke Madura.

Berdasarkan sumber lisan, pada abad 17 ini, terdapat pendakwah asal Madura di kawasan Padurenan - Gebog. Tokoh tsb bernama Raden Syarif dan diyakini merupakan putera dari adipati Sumenep, Pangeran Yudonegoro. Tidak jelas kapan ia datang ke Kudus. Sumber lisan hanya menyebuy bahwa ia selalu berpindah-pindah tempat dalam berdakwah. Dia bahkan juga pernah berdakwah di Mayong - Jepara. Sementara di kawasan Ngembal Rejo kabarnya juga terdapat tokoh agama bernama Ki Kalamudin.  (Sementara orang keliru menyebut beliau sebagai nama lain dari Mbah Abdur Rohim. Ulama' ngembal yang hidup abad 18 M, keturunan Sunan Tegal Arum).

Pada abad 18 M sepanjang penelusuran saya tidak ada catatan rinci tentang kondisi islam di Kudus. Hanya ada beberapa nama tokoh agama yang biografinya tidak banyak terdeteksi. Salah satunya "Ketib Anom Kudus" yang disebut dalam Serat Cebolek sebagai penentang Syekh Mutamakkin ( Kajen - Pati). Dalam serat tsb, Ketib Anom diceritakan bahwa Sang Ketib menentang habis-habisan ajaran Mbah Mutamakkin yang dianggap tidak benar. Konflik antara keduanya bahkan sampai ke telinga keraton Surakarta. Namun sekali lagi, biografi tentang "Ketib Anom" tsb tidak kami dapatkan. Hanya yang jelas, berangkat dari gelarnya. Sosok tsb adalah Ulama Kudus yang menjabat posisi keagamaan di keraton (Surakarta).

Sekitar akhir abad 18, kami merlacak beberapa nama Ulama Kudus di manuskrip-manuskrip kuno. Salah satunya manuskrip terjemahan "Fathul Muin" berbahasa jawa milik perpustakaan pesantren Al-Yasir, disebut secara jelas penulisnya bernama Tuan Haji Ismail Kudus. Kemudian ada keterangan bahwa penulis pengamal tarekat Khalwatiyah - Samman, tarekat yang dipopulerkan oleh Abdus Shamad al-Palimbani dan duo banjar, Arsyad al-Banjari dan Nafis al-Banjari.

Dari data terbatas yang ada tsb, ada dugaan kecil jaringan Sammaniyah pernah ada di Kudus ini. Setidaknya pada akhir atau awal abad 19 M. Yang lebih membuat penasaran, di manuskrip satunya yang juga bersumber dari Kudus, penulis manuskrip secara lebih jelas mengaku memperoleh pelajaran tajwid al-Quran dari "Maulana Arsyad bin Abdullah". Sayangnya tidak ada imbuhan gelar "Al-Banjari" setelah nama tsb, sehingga tidak bisa diyakini bahwa tokoh yang dimaksud adalah pembawa tarekat Samman ke Indonesia.

Namun berdasarkan isi manuskrip yang berbahasa melayu khas banjar, saya menduga kuat tokoh terkait adalah Syekh Arsyad al-Banjari. Ditambah lagi fakta adanya Tuan Haji Ismail yang merupakan pengamal tarekat khas Syekh Arsyad, tentu ini juga memperkuat dugaan adanya jaringan murid Syekh Arsyad al-Banjari, atau paling tidak jaringan tarekat Samman di Jawa khususnya Kudus. Hipotesis yang kami tampilkan ini, sekali pun perlu kajian mendalam lagi, tapi setidaknya memberi harapan terhadap rekonstruksi sisi-sisi sejarah islam Kudus yang lama terkubur.

Kondisi islam di Kudus terbaca secara lebih utuh baru  pada abad 19 M. Pada periode ini, secara struktural pusat pemerintahan Kudus sudah dipindahkan ke kawasan sebelah timur sungai Gelis. Kawasan ini kemudian banyak dihuni oleh orang-orang Cina dan pendatang dari luar. Secara kondisi keagamaan, Kudus abad 19 M juga sudah terdapat banyak pengajian dan Kyai. Pada periode ini, sejauh penelusuran saya memang belum ada pesantren atau madrasah di Kudus. Tapi tidak berarti kegiatan keagamaan juga tidak ada.

Dama catatan kami tentang Ulama-Ulama Kudus apada abad 18 ini juga banyak nama Ulama yang hari ini sudah tidak terdengar lagi. ada nama-nama seperti Kyai Asnawi Sepuh (Cucu Mbah Mutamakkin), Kyai Abdullah Sajjad (pendiri Muawanatul Muslimin), Kyai Imam Haramain (kakek Mbah Arwani), Kyai Abdullah Faqih, Kyai Raden Syarbini (Piji Dawe), Sayid Ali (gebog), Kyai Abdul Jalil, Kyai Moh Imam, Kyai Kamal Damaran, Kyai Mufid Sunggingan, Kyai Nurhadi, Kyai Asnawi Kudus, Kyai (mbah) Sanusi Jekulo, Kyai Ya'qub Gili, Kyai Abdur Rahim (Ngembal rejo), Kyai Yasir (Jekulo), Kyai Fakhrur Rozi, Kyai Shaleh Asnawi ( putra Kyai Asnawi sepuh) dan banyak tokoh lain.  Tokoh terakhir ini kemudian menjadi salah satu guru dari Kyai Shaleh Ndarat (semarang).

Pada abad 19 ini juga banyak orang-orang Kudus yang meneruskan study ilmu agama di Mekkah. Seperti umumnya tradisi Mekah, Orang-orang Jawa yang tinggal di sana biasanya diberi nama akhiran kota asalnya. Maka orang-orang Kudus pun demikian. Seperti Ali Kudus (ayah Syekh Abdul Hamid), Hamid Mannan Kudus, Utsman Kudus, dan beberapa nama lain.

Pada periode ini tercatat ada keluarga dari Yaman yang hijrah ke Kudus. Namanya Abdul Qadir. Tidak jelas di mana tepatnya keluarga itu tinggal. Di Kudus itu lahir-lah putra laki-laki yang bernama Ali.  Keluarga mereka akhirnya hijrah ke Mekah, dan Ali kecil mulai belajar agama di sini. Kelak Ali ini menjadi Ulama besar di Mekah yang mengarang banyak kitab keagamaan. Diantaranya kitab Kifayatul Mubtadi yang membahas persoalan akidah.

Sosok lain asal Kudus yang tinggal di Mekah adalah Haji Hamid Mannan. Kami tidak mendapati sumber utuh mengenai sosok ini. Namun dalam catatat sejarah Raden Asnawi, tokoh yang kita bicarakan ini membangun rumah tinggal di Mekah. Dan di situ-lah, Kyai Raden Asnawi tinggal selama menuntut ilmu.   Haji Hamid  tercatat juga punya relasi dengan mufti Mesir saat itu, Sayid Bik al-Husaeni. Dia-lah yang mempertemukan Kyai Raden Asnawi dengan sang mufti tsb.

Sosok lain yang belajar di Mekah pada era ini adalah Utsman bin Abdullah Kudus. Dugaan saya sosok ini adalah murid dari Syekh Nawawi banten. Namun lagi-lagi biografinya tidak terlacak. Sementara ini saya hanya menemukan keterangan bahwa tokoh terkait adalah penulis naskah kitab Mabadi' al-'Asyrah (10 prinsip keilmuan) karya Sekh Nawawi banten. Naskah tsb tersimpan di perpustakaan King Abdul Aziz dan selesai ditulis oleh tokoh tsb pada tahun 1322 H. Karya Syekh Nawawi ini -- sejauh penelusuran saya -- juga belum pernah terbit.

No comments:

Post a Comment