Monday, November 25, 2019

SEJARAH BANDARA JUANDA


S E J A R A H. B A N D A R A. J U A N D A

Rencana untuk membangun satu pangkalan udara baru yang bertaraf internasional sebenarnya sudah digagas sejak berdirinya Biro Penerbangan Angkatan Laut RI pada tahun 1956. Namun demikian, pada akhirnya agenda politik pula yang menjadi faktor penentu realisasi program tersebut. Salah satu agenda politik itu adalah perjuangan pembebasan Irian Barat. Berangkat dari tujuan membantu operasi TNI dalam pembebasan Irian Barat, pemerintah menyetujui pembangunan pangkalan udara baru di sekitar Surabaya. Saat itu terdapat beberapa pilihan lokasi, antara lain: Gresik, Bangil (Pasuruan) dan Sedati (Sidoarjo). Setelah dilakukan survei, akhirnya pilihan jatuh pada Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Tempat ini dipilih karena selain dekat dengan Surabaya, areal tersebut memiliki tanah yang sangat luas dan datar, sehingga sangat memungkinkan untuk dibangun pangkalan udara yang besar dan dapat diperluas lagi di kemudian hari.

Proyek pembangunan yang berikutnya disebut sebagai “Proyek Waru” tersebut merupakan proyek pembangunan lapangan terbang pertama sejak Indonesia merdeka. Proyek ini bertujuan menggantikan pangkalan udara yang tersedia di Surabaya adalah landasan udara peninggalan Belanda di Morokrembangan dekat Pelabuhan Tanjung Perak, yang sudah berada di tengah permukiman yang padat dan sulit dikembangkan. Pelaksanaan proyek Waru, melibatkan tiga pihak utama, yaitu: Tim Pengawas Proyek Waru (TPPW) sebagai wakil pemerintah Indonesia, Compagnie d’Ingenieurs et Techniciens (CITE) sebagai konsultan, dan Societe de Construction des Batinolles (Batignolles) sebagai kontraktor. Kedua perusahaan asing terakhir, merupakan perusahaan asal Perancis. Dalam kontrak yang melibatkan tiga pihak tersebut, ditentukan bahwa proyek harus selesai dalam waktu empat tahun (1960-1964).

Untuk membangun pangkalan udara dengan landasan pacu yang besar (panjang 3000 meter dan lebar 45 meter) ini membutuhkan pembebasan lahan yang luas keseluruhannya mencapai sekitar 2400 hektar. Lahan tersebut tidak hanya berbentuk tanah, tetapi juga sawah dan rawa. Selain itu juga dibutuhkan pasir dan batu dalam jumlah yang besar. Pasirnya digali dari Kali Porong dan batunya diambil dari salah satu sisi Bukit Pandaan yang, kemudian diangkut dengan ratusan truk proyek menuju Waru. Jumlah pasir dan batu yang diperlukan sekitar 1.1200.000 meter kubik atau 1.800.000 ton. Konon Jumlah pasir sebanyak itu bisa digunakan untuk memperbaiki jalan Jakarta-Surabaya sepanjang 793 Km dengan lebar 5 m dan kedalaman 30 cm. Sedangkan jarak tempuh seluruh truk proyek, bila digabungkan adalah sekitar 25 juta Km atau 600 kali keliling bumi.

Dengan kegiatan proyek yang berlangsung siang-malam dan dukungan kerjasama dari berbagai pihak (Pemerintah Kota Surabaya, Komando Resor Militer (Korem) Surabaya, Otoritas Pelabuhan dan masyarakat pada umumnya), akhirnya proyek tersebut dapat diselesaikan lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Pada tanggal 22 September 1963, berarti tujuh bulan lebih cepat, landasan tersebut sudah siap untuk digunakan. Sehari kemudian satu sortie penerbangan, yang terdiri empat pesawat Fairey Gannet ALRI, di bawah pimpinan Mayor AL (Pnb) Kunto Wibisono melakukan uji coba pendaratan untuk pertama kalinya.

Di tengah proses pembangunan bandara ini, sempat terjadi krisis masalah keuangan. Ketika itu bahkan pihak Batignolles sempat mengancam untuk hengkang. Penanganan masalah ini pun sampai ke Presiden Sukarno. Dan Presiden Sukarno kemudian memberikan mandat kepada Waperdam I Ir. Djuanda untuk mengatasi masalah ini hingga proyek ini selesai. Pada tanggal 15 Oktober 1963, Ir. Djuanda mendarat di landasan ini dengan menumpangi Convair 990 untuk melakukan koordinasi pelaksanaan proyek pembangunan. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 7 November 1963 Ir. Djuanda wafat. Karena dianggap sangat berjasa atas selesainya proyek tersebut dan untuk mengenang jasa-jasa dia, maka pangkalan udara baru tersebut diberi nama Pangkalan Udara Angkatan Laut (LANUDAL) Djuanda dan secara resmi dibuka oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12 Agustus 1964. Selanjutnya pangkalan udara ini digunakan sebagai pangkalan induk (home base) skuadron pesawat pembom Ilyushin IL-28 dan Fairey Gannet milik Dinas Penerbangan ALRI.

Dalam perkembangannya muncul keinginan maskapai Garuda Indonesia Airways (GIA) untuk mengalihkan operasi pesawatnya (Convair 240, Convair 340 dan Convair 440) dari lapangan terbang Morokrembangan yang kurang memadai ke Djuanda. Namun, karena dalam pembangunannya tidak direncanakan untuk penerbangan sipil, Lanudal Djuanda tidak memiliki fasilitas untuk menampung penerbangan sipil sehingga kemudian otoritas pangkalan saat itu berinisiatif merenovasi gudang bekas Batignolles untuk dijadikan terminal sementara. Dan jadilah Lanudal Djuanda melayani penerbangan sipil yang pengelolaannya sejak 7 Desember 1981 dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan RI. Pada 1 Januari 1985, pengelolaan bandara komersial ini dialihkan kepada Perum Angkasa Pura I berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1984. Seiring waktu berjalan, frekuensi penerbangan sipil disana pun bertambah. Hingga akhirnya dibangun terminal khusus untuk melayani penerbangan sipil dan melayani juga penerbangan internasional. Pada 24 Desember 1990, Bandara Juanda ditetapkan sebagai bandara internasional dengan peresmian terminal penerbangan internasional.

No comments:

Post a Comment